MATEMATIKA MODEL


MATEMATIKA MODEL
PEMODELAN MATEMATIKA DALAM HIDUP
Guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Matematika Model
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Marsigit, M.A








Oleh :
Cinta Adi Kusumadewi                      18709251059
Pendidikan Matematika C
  


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


A.    Ontologi Matematika

Ontologi matematika berusaha memahami keseluruhan dan kenyataan matematika, yaitu segala matematika yang mengada (Marsigit, 2015: 95). Berkaitan dengan matematika, maka ontologis matematika menjadi suatu teknik pendekatan yaitu untuk mencari pengertian akar dan dasar dari kenyataan matematika. Secara ontologis, kita akan berusaha mengkaji bagaimana mencari sesuatu dari setiap kenyataan yang ditemukan terkait matematika. Selain itu, kita juga akan membahas apa yang ingin kita ketahui tentang matematika serta menyelediki sifat dasar apa yang ada secara fundamental. Oleh  karena sudut pandang ini membahas tentang keberadaan dan kebenaran suatu fakta matematika sebagai objek, maka diperlukan proses berpikir untuk bisa menemukan kenyataan matematika sebagai suatu objek yang benar. Menurut  Ross, DS (2003) menyatakan bahwa ada beberapa pertanyaan ontologis dalam Filsafat Matematika: Apa hakekat objek matematika? Dengan cara bagaimana memperoleh objek matematika tersebut? Apakah objek matematika merupakan ide seperti yang dipikirkan Plato? Dapatkah objek matematika ada tanpa adanya objek lain?
Dengan adanya pendekatan ini sebagai suatu teknik, maka muncullah beberapa tokoh yang mengutarakan dari berbagai sudut pandang kecil demi menemukan tujuan dari kebenaran matematika, seperti platonisme, formalisme, logisisme, intuisionisme, empirisme, dan lain-lain.  Kesemuanya berjalan dari pengambilan sudut pandang yang berbeda dan rasional dengan tujuan yang sama. Sebagai contoh, menurut Ernest (1995), aliran intusionisme mengakui aktivitas matematika manusia sebagai dasar dalam penyusunan bukti atau objek-objek matematika, teori baru, dan juga mengakui bahwa aksioma intuisi dari teori matematika secara mendasar tidaklah lengkap, dan perlu ditambahkan sebagai kebenaran matematika yang lain baik secara intuisi maupun secara informal.
Telah banyak para ahli memberikan definisi tentang matematika sehingga memberikan karakteristik pada matematika itu sendiri, seperti struktur-struktur logika, kesistematisan matematika, pola pikir deduktif, pembuktian secara logika, dan lain-lain.
Objek-objek kajian dalam matematika bersifat abstrak, meliputi  fakta, operasi (atau relasi), simbol-simbol, konsep, dan prinsip. Hal ini menimbulkan beberapa pandangan secara filsafat mengenai objek matematika, yaitu :
1.      Formalisme, yaitu memandang matematika sebagai sistem lambang yang formal. Selain itu, berkaitan erat dengan sifat-sifat struktural dari simbol-simbol dan proses pengolahan terhadap lambang-lambang. Oleh karena simbol-simbol dianggap sebagai sasaran yang menjadi objek matematika maka aliran formalisme berusaha menyelidiki struktur dari berbagai sistem formal.
2.      Intuisionisme yang mengakui  bahwa aktivitas matematika manusia sebagai dasar dalam penyusunan bukti, objek-objek matematika, teori baru, dan juga mengakui bahwa perlu adanya tambahan sebagai kebenaran matematika yang lain baik secara intuisi maupun secara informal.
3.      Logisisme yang berpendapat bahwa matematika terdiri atas deduksi-deduksi dari prisip-prinsip logika. Akibatnya, logika merupakan masa muda dari matematika dan matematika merupakan masa dewasa dari logika.

B.     Epistemologi Matematika

Selanjutnya, ketika dalam proses memahami terhadap keberadaan suatu objek matematika, perlu dilakukan beberapa cara untuk menemukan konsep keberadaan suatu objek matematika, yakni dari segi epistemologi. Secara epistemologi, hal ini menitikberatkan pada acara untuk memperoleh sumber-sumber premis yang akan digunakan untuk memberi kesimpulan terhadap adanya suatu objek matematika. Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi. Dengan demikian, untuk menemukan suatu konsep kebenaran dari objek matematika diperlukan adanya usaha untuk menemukan sumber-sumber sebagai premis-premis dari suatu kesimpulan.  

C.    Pemodelan Matematika

 Model adalah representasi penyederhanaan dari sebuah realita yang complex (biasanya bertujuan untuk memahami realita tersebut) dan mempunyai feature yang sama dengan tiruannya dalam melakukan task atau menyelesaikan permasalahan. Model adalah karakteristik umum yang mewakili sekelompok bentuk yang ada, atau representasi suatu masalah dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah dikerjakan. Dalam matematika, teori model adalah ilmu yang menyajikan konsep-konsep matematis melalui konsep himpunan, atau ilmu tentang model-model yang mendukung suatu sistem matematis.
Matematika model atau pemodelan matematika merupakan bidang matematika yang berusaha untuk mempresentasikan dan menjelaskan sistem-sistem fisik atau problem pada dunia real dalam pernyataan matematika sehingga diperoleh pemahaman dari problem dunia real ini menjadi lebih tepat. (Prayudi, 2006). Mathematical modelling is a process in which real-life situations and relations in these situations are expressed by using mathematics (Haines and Crouch, 2007).
 Sederhananya, model matematika merupakan usaha untuk menggambarkan suatu fenomena ke dalam bentuk rumus matematis sehingga mudah untuk dipelajari dan dilakukan perhitungan. Models describe our beliefs about how the world functions. In mathematical modelling, we translate those beliefs into the language of mathematics (Marion, 2008).
permodelan1
                                 Gambar Tahapan pemodelan Matematika
Secara rinci, tahapan pemodelan matematika adalah sebagai berikut:
1.      Mengenali dan menamai variable bebas dan tak bebas serta membuat asumsi-asumsi seperlunya untuk menyederhanakan fenomena sehingga membuatnya dapat ditelusuri secara matematika.
2.      Menerapkan teori matematika yang telah diketahui pada model matematika yang telah dirumuskan guna mendapatkan kesimpulan matematikanya.
3.      Mengambil kesimpulan matematika tersebut dan menafsirkannya sebagai informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dimodelkan dengan cara memberikan penjelasan atau membuat perkiraan.
4.      Menguji perkiraan terhadap data riil. Jika perkiraan yang kita buat tidak sebading dengan kenyataan, maka model yang didapat perlu diperhalus atau merumuskan model baru dan memulai daur kembali. Bisa juga dengan memperbaiki asumsi-asumsi yang diberikan.
Teori model diawali dengan asumsi keberadaan obyek-obyek matematika (misalnya keberadaan semua bilangan) dan kemudian mencari dan menganalisis keberadaan operasi-operasi, relasi-relasi, atau aksioma-aksioma yang melekat pada masing-masing obyek atau pada obyek-obyek tersebut. Indenpensi dua hukum matematis yang lebih dikenal dengan nama axiom of choice, dan contnuum hypothesis dari aksioma-aksioma teori himpunan (dibuktikan oleh Paul Cohen dan Kurt Godel) adalah dua hasil terkenal yang diperoleh dari teori model. Telah dibuktikan bahwa axiom of choice dan negasinya konsisten dengan aksioma-aksioma Zermelo- Fraenkel dalam teori himpunan dan hasil yang sama juga dipenuhi oleh contnuum hypothesis. Model matematika yang diperoleh dari suatu masalah matematika Teori model diawali dengan asumsi keberadaan obyek-obyek matematika (misalnya keberadaan semua bilangan) dan kemudian mencari dan menganalisis keberadaan operasi-operasi, relasi-relasi, atau aksioma-aksioma yang melekat pada masing-masing obyek atau pada obyek-obyek tersebut. Indenpensi dua hukum matematis yang lebih dikenal dengan nama axiom of choice, dan contnuum hypothesis dari aksioma-aksioma teori himpunan (dibuktikan oleh Paul Cohen dan Kurt Godel) adalah dua hasil terkenal yang diperoleh dari teori model. Telah dibuktikan bahwa axiom of choice dan negasinya konsisten dengan aksioma-aksioma Zermelo- Fraenkel dalam teori himpunan dan hasil yang sama juga dipenuhi oleh contnuum hypothesis. Model matematika yang diperoleh dari suatu masalah matematika.
Pemodelan matematika merupakan proses dalam memperoleh pemahaman matematika melalui konteks dunia nyata Dalam pemodelan matematik bahwa masalah nyata yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari perlu disusun dalam suatu model matematik sehingga, mudah dicari solusinya. Proses pembentukan model matematika melalui tahap abstraksi dan idealisasi. Dalam proses ini diterapkan prinsip-prinsip matematika yang relevan sehingga menghasilkan sebuah model matematika yang diharapkan. Beberapa hal penting dan perlu agar model yang dibuat sesuai dengan konsep masalah antara lain, masalah itu harus dipahami karakteristiknya dengan baik, disusun formulasi modelnya, model itu divalidasi secara cermat, solusi model yang diperoleh diinterpretasikan dan kemudian diuji kebenarannya. Metodologi dasar dalam proses penentuan model matematika atau sering disebut pemodelan matematika, ada beberapa tahap yaitu: a) tahap masalah, b) karakterisasi masalah, c) formulasi model matematika, d) analisis, e) validasi, f) perubahan, dan g) model yang memadai.

1.      Pemodelan Matematika Formal

Pemodelan matematika secara formal merupakan proses dalam memperoleh pemahaman matematika melalui konteks dunia nyata. Menurut Lovitt (1991) pemodelan matematika ditandai oleh dua ciri utama, yaitu (1) pemodelan bermula dan berakhir dengan dunia nyata, (2) pemodelan membentuk suatu siklus. (Senk dan Thompson, 2003). Pemodelan matematika adalah penyusunan suatu deskripsi dari beberapa perilaku dunia nyata (fenomena-fenomena alam) ke dalam bagian-bagian matematika yang disebut dunia matematika (mathematical world). Pemodelan matematika juga merupakan representasi dari objek, proses, atau hal lain yang diharapkan dapat diketahui polanya sehingga dapat dianalisis. (Dym and Ivey, 1980). Contoh pemodelan matematika adalah : Misalnya, mutu lulusan sekolah dasar (M) tergantung atas beberapa faktor, seperti kualitas guru (x1), kualitas masukan (x2), relevansi kurikulum (x3), dan sarana penunjang pembelajaran (x4). Jika disusun rumusan unsur-unsur ini, dapat dinyatakan bahwa mutu lulusan adalah fungsi dari faktor-faktor x1, x2, x3, dan x4. Dalam bentuk model matematik hubungan ini dapat ditulis dengan M = F (x1 ,x2 ,x3 ,x4 ) atau secara singkat ditulis M = f (x) , dengan pemahaman bahwa variabel x mewakili variabel x1 ,x2 ,x3 dan x4 .

a.      1.1 Matematika Non Standar

Setiap struktur matematika tak hingga memiliki model yang tidak standar. Hal ini merupakan fakta dasar dalam teori model, yaitu struktur non-isomorfik yang memenuhi sifat dasar yang sama. Oleh karenanya, ada hal yang berbeda namun memiliki struktur yang sama. Dengan mempertimbangkan eksistensi non standar dari sistem bilangan real, sehingga dapat memberikan solusi untuk masalah yang tidak dapat diselesaikan selama berabad-abad. Untuk membuktikan teorema standar menggunankan model yang tidak standard digunakan bilangan kompleks. Penggunaan metode non standar yang berasal dari pemikiran logika akan  menimbulkan matematika non standar yang kemudian dikontraskan dengan matematika standar.

1.      Pendekatan Superstruktur (teori himpunan pertama di semesta).

     Pendekatan ini membahas penggunaan bilangan kompleks untuk menyelesaikan masalah yang tidak standar, seperti interval, fungsi, ruang fungsi, norma, topologi, dan sebagainya. Contoh lain, misalnya, ruang F dari fungsi nyata diidentifikasi dengan subset dari subset himpunan bagian himpunan himpunan bilangan real, dan topologi pada F (sebagai kumpulan himpunan terbuka) adalah subset dari himpunan bagian F, dan lain-lain.

2.      Keterbatasan Dasar dari Pendekatan Superstruktur

a.              Model superstruktur hanya bagian dari ZFC.
b.             Superstruktur yang berbeda hanyak diperuntukkan bagi masalah yang berbeda pula.
c.              Metode non standar tidak berkaitan dengan superstruktur.
d.             Secara estetika, dapat memasukkan semua teknik yang tidak standar di dalam sistem aksiomatik terpadu.

3.      Teori Himpunan Internal Nelson

Teori himpunan internal yang diprakarsai oleh Edward Nelson merupakan sebuah teori elegan yang diformulasikan sebagai hasil dari posisi filosofis yang tepat. Berkenaan dengan teori himpunan biasa, lambang st, yang disebut "standar" , merupakan  bagian dari bahasa formal. Dengan cara ini pengertian dari himpunan standar adalah  hubungan keanggotaan dengan sifat yang sama, yaitu konsep dasar yang tidak boleh didefinisikan.
Aksioma teori himpunan internal Nelson yaitu:
a.              ZFC, yitu semua aksioma Zermelo-Fraenkel menetapkan teori dengan pilihan yang diasumsikan.
b.             Prinsip Transfer (T)
Untuk setiap -formula ϕ yang variabel bebasnya x 1 , ..., x n , y , berlaku:                                st x 1 ··· st x n ( st y ϕ ↔ y ϕ )
c.              Prinsip Idealisasi (I)
Untuk setiap -formula ϕ , berlaku:
stfin x y x x ϕ ↔ y st xϕ
d.             Properti Standardisasi
Untuk setiap formula ϕ berlaku:
st x st y st z [ z y ↔ ( z x ϕ )]
e.       Terdapat rumus ϕ, dan anggap ϕ (0) dan st n N ϕ ( n ) → ϕ ( n + 1), kemudian st n N ϕ ( n ).

4.      Teori tidak Standar Hrbacek

Hrbacek mengembangkan teori himpunan yang tidak standar yaitu NS1 , NS2 dan NS3. Hrbacek menambahkan beberpa simbol pada teori himpunan, yaitu predikat st (x) untuk "x adalah standar" dan predikat int (x) untuk "x adalah internal".
Tujuh aksioma dari 3 teori NS Harbacek, yaitu:
a.              ZFC untuk semesta standar.
b.             Sebuah fragmen ZFC untuk semesta eksternal
c.              Semua himpunan standar adalah internal
d.             Semesta dari himpunan internal adalah transitif
e.              Prinsip Transfer
Untuk setiap -formula ϕ yang variabel bebasnya x 1 , ..., x n , y , berlaku: st x 1 ··· st x n ( ϕ st ( x 1 , ..., x n ) ↔ ϕ int ( x 1 , ..., x n ))
f.              Properti Standardisasi  :           a st b st x ( x a ↔ x b )
g.             Prinsip Idealisasi

5.      Teori Himpunan Non Standar Bertingkat (SNST) Fletcher

Sistem Fletcher menyediakan seluruh hierarki internal dan eksternal semesta. Postulat SNST meningkatkan urutan semesta internal dan eksternal diindeks di atas kardinal. Walaupun idealisasi penuh tidak berlaku, akan tetapi jumlah saturasi tertentu disediakan dengan bekerja di tingkat yang sesuai dari hierarki. Aksioma SNST yang ditetapkan adalah sebagai berikut:
a.              ZFC untuk semesta standar
b.             ZFC ± keteraturan yang lemah untuk semesta eksternal
c.              i α E α , i α i β dan E α E β untuk semua α ≤ β
d.             Setiap bagian yang sangat eksternal Eα \ iα adalah transitif. Seluruh internal semesta i = α i α bersifat transitif.
e.              Prinsip Transfer
f.              Properti Standardisasi
g.             Prinsip Idealisasi
α α r [ r adalah hubungan biner ∧∃ S f f ( σ α ) = σ r ]
[( Sfin a dom ( r ) α b S a ar ( a, b )) ( α b S a dom ( r ) r ( a, b )]

6.      Teori Himpunan Perluasan (EST) Ballard

Dengan menghadirkan perluasan teori himpunan, Ballard mampu menghindari masalah notasi bahasa peringkat. Postulat EST untuk setiap semesta U dan setiap U kardinal κ , ada perluasan tak jenuh yang tidak standar κ U U ( di mana U merupakan semesta). Aksioma EST diantaranya:
a.              Terdapat semesta U
b.             Untuk setiap semesta U  dan untuk setiap U kardinal κ , ada κ perluasan jenuh U U

7.      Meningkatkan Pendekatan Internal: Teori BST dan HST

Dengan modifikasi minor dari IST, yaitu Bounded Set Theory BST, seseorang dapat mengkodekan set eksternal ke dalamnya semesta internal. Oleh karenanya,  teori HST non standar diperoleh dapat mengatasi kendala IST. Kanovei dan Reeken mengusulkan sistem aksioma non standar, yaitu:
a.              Untuk setiap φ aksioma ZFC, yang standar-perelatifan φst diasumsikan.
b.             Aksioma ekstensionalitas, pasangan, penyatuan, ketidakterbatasan, pemisahan dan respon penempatan diasumsikan untuk kelas universal (yaitu tanpa membatasi pembilang). Untuk formula yang mengandung predikat st. Berikut ini aksioma keteraturan yang lemah diasumsikan:
X = ∅∃x X x ∩ X i
dan aksioma pilihan ukuran standar berikut juga diasumsikan:
x fungsi f ukuran standar dengan dom ( f ) = x
( t xf ( t ) = ) → ( g berfungsi dengan t xg ( t ) f ( t )
c.              Semua himpunan standar adalah internal.
d.             Semesta dari himpunan internal bersifat transitif.
e.              Prinsip Transfer.
f.              Properti Standardisasi.
g.             Prinsip Kejenuhan.

8.      Teori Himpuan Relatif (RST) Péraire

RST memberikan versi relatif dari pendekatan internal dengan cara relasi biner dari standar. Secara kasar, bukan hanya mempertimbangkan himpunan standar dan tidak standar (ideal), semesta RST adalah seluruh hierarki set yang diatur sesuai dengan urutan linier tingkat standar.
Beberapa aksioma RST adalah sebagai berikut:
a.              Semua aksioma teori himpunan Zermelo-Fraenkel dengan pilihan diasumsikan.
b.             Relasi biner st adalah total pre-order.
c.              Prinsip Transfer
Untuk setiap -formula ϕ yang variabel bebasnya x 1 , ..., x n , y , berlaku:
[ a ] x 1 ··· [ a ] x n ( [ a ] y ϕ ↔ y ϕ )
d.             Idealisasi Terbatas.
e.              Idealisasi Tidak Terbatas.
f.              Properti Standardisasi.

9.      Teori Kelas Non Standar (NCT) Gordon-Andreyev

 NCT memiliki atuan yang mirip dengan Teori Set Internal (dalam bentuk terikat BST) yang meluas ke ZFC. Aksioma NCT diberikan formalisasi yang lebih sederhana. Bahkan, transfer, idealisasi dan standardisasi diformulasikan sebagai aksioma tunggal dan bukan aksioma schemata. Bahasa NCT diperoleh dengan menambahkan simbol st untuk standar kelas dard ke bahasa biasa teori kelas. Aksioma NCT diantaranya yaitu:  
a.              Semua aksioma teori kelas Gödel-Bernays diasumsikan, di mana pilihan dipostulasikan untuk himpunan, dan penggantian mengambil bentuk kumpulan aksioma:
V x y u x ( v u, v V ) ( v y u, v V )
Untuk setiap aksioma keberadaan kelas, modifikasinya dengan quantifiers over  variabel kelas yang dibatasi oleh predikat st ( st , st ) ditambahkan.
b.             Terdapat kelas pada semua himpunan standar
c.              Batas        x st y x y
d.             Prinsip Transfer
e.              Properti Standardisasi
f.              Pemisahan untuk Kelas Internal   int X x y ( y = x ∩ X )
g.             Prinsip Idealisasi
h.             Properti Kejenuhan
Setiap kelas Xp jenuh untuk beberapa himpunan p.

10.  Pendekatan ZFC

ZFC mempresentasikan sistem aksioma non konstan dimana konsep dasar standar, internal dan eksternal, ketetapan, definisi dan sifat-sifatnya yang perlu dibuktikan.
Aksioma ZFC diantaranya adalah sebagai berikut:
a.             ZFC di mana skema pemisahan dan penggantian juga diasumsikan untuk formula yang mengandung simbol . keteraturan yang lemah juga diasumsikan:  x = y xx ∩ y I
b.             adalah pemetaan dengan domain S
c.              Embedding tidak standar menjaga semua operasi Gödel
d.             Skema Kejenuhan
[ x, y S ϕ S ( x ) ϕ S ( y ) → ( x = y “ x adalah kardinal”)]
κ ϕ S ( κ ) → “ κ -saturation property”

2.      Pemodelan Matematika Kehidupan

Dalam kehidupan sehari-hari, kata model sering digunakan, dan mengandung arti sebagai contoh, miniatur, peta, image sebagai representasi dari suatu masalah. Misalnya, model pakaian, model rumah. Secara umum istilah tersebut di atas menggambarkan adanya padanan atau hubungan antara unsur-unsur dari rumah dengan modelnya. Sebagai contoh, perbandingan antara panjang dan lebar bangunan rumah dengan modelnya. Tetapi tidaklah berarti bahwa model rumah dan rumah itu sendiri sama ukuranya dalam setiap hal. Secara singkat dapat dikatakan bahwa apabila ada suatu benda A (dapat berupa masalah, fenomena) dan modelnya B, maka terdapat kumpulan unsur-unsur dam B yang mempunyai padanan dengan A. Demikian pula terdapat suatu hubungan yang berlaku antara unsur-unsur di B yang sesuai dengan unsur-unsur sebagai padanannya di A.
Pemodelan matematika juga dapat terjadi dalam kehidupan secara fenomena. Di mana timeline seseorang sejatinya dibagi menjadi dua zona, yaitu zona vital dan zona fatal. Vital itu terpilih, sedangkan fatal itu memilih. Keduanya berjala beriringann sesuai dengan timeline waktunya masing-masing. Apabila dikaitkan dalam retorika kehidupan manusia, hidup terpilih oleh Tuhan (fatal) dan manusia diberi kesempatan memilih hidupnya. Dalam zona vital, manusia memiliki kesempatan untuk selalu berikhtiar dalam setiap perjalanan hidupnya. Sedangkan dalam zona fatal, manusia diliputi olrh sesuatu hal yang membatasi setiap perjalanan angan-angan yang diusahakan untuk hidupnya, yakni takdir.
Pada daerah vital, jika diperluas lagi maka akan ada realita-realita yang sifatnya selalu kontradiksi bagi pikiran kita. Ide-ide yang muncul hanyalah sebuah persepsi yang juga dicampuri dengan intuisi seseorang. Seiring berjalannya waktu ia akan melahirkan matematika yang bersifat konkret/realita. Sedangkan pada daerah fatal, di sanalah terdapat ide-de yang bersifat idealis, mutlak, absolut, dan berlaku identitas. Segala ide / pemikiran berasal dari hal-hal yang bersifat rasionalis yang juga masih dikaitkan dengan intuisi yang dimiliki. Hingga pada tahap tertinggi adalah transenden. Oleh sebabnya, ide-ide itulah akan memunculkan pemikiran-pemikiran secara vertikal dan bersifat abstrak/tidak konkret.
Model konkret dapat ditunjukkan melalui gambar gunung/iceberg. Gunung disini bisa berarti pengetahuan, pikiran, ilmu, perasaan, keyakinan. Matematika formal/murni merupakan gunung dari matematika yang dipelajari disekolah dasar dan menengah. Realistik matematika seperti enaktif, ikonik, dan simbolik. Semakin tinggi aksiomatik matematika maka semakin membutuhkan kekuatan logika. Sedangkan ada perbedaan matematika model untuk jenjang SD dan sekolah menengah.     
Perjalanan kehidupan dari waktu ke waktu terus berjalan dan berkembang. Sehingga aku yang sekarang adalah hasil transformasi dari aku yang dulu. Semuanya berjalan secara bertransformasi setelah memenuhi syarat ontologis, epistemologis, serta aksiologis. Fenomenologi ada pada epistemologinya. Ontologis ada pada hakekat, epistemologi terletak pada metodenya, dan aksiologi merupakan nilai etik dan estetikanya. Hakekat dan metode saling beriringan artinya tidak ada hakekat tanpa metode dan tidak ada metode tanpa hakekat. Hakekat dan metode berjalan bersama-sama antara dua dunia, ideal dan realita. Sehingga akan muncul interaksi antara idealita dan realita.
Hidup ini adalah sebuah interaksi, realita adalah sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dirasa, maupun disentuh. Selama hidup, masalah manusia hanyalah ada dua yaitu menjelaskan apa yang dipikirkan dan dirasakan, ketika dinaikkan pemikirannya dapat berkaitan dengan kuasa tuhan. Kita tidak dapat menjelaskan apa yang dipikirkan, mengejar tulisan maupun ucapan kita sendiri. Pengetahuan menjadi pedoman agar tahu diri. Secara aksiologis, ketika seorang perempuan ingin menjadi laki-laki maupun perubahan keyakinan dari muslim menjadi nasrani tidak dapat terpenuhi.
Teorema-teorema yang telah dipelajari, seperti teori grup merupakan bagian ideal yang berada diatas realitanya. Aljabar dan kalkulus belum mencapai matematika nonstandard, jadi untuk memahami suatu matematika model diperlukan transformasi. Perlunya mentransformasikan matematika aksiomatik yang ada didalam diri menuju ke matematika nonstandard sebab adanya transenden sebagai batu lompatan. Seperti halnya kita bermatematika, ada kondisi dimana kita sadar maupun tidak sadar sehingga terjadi lompatan yang abstrak dikenal sebagai transenden, misalnya suatu ilham. Kita tidak menyadari bahwa kita termasuk dalam matematika model itu sendiri. Model berangkat dari sesuatu yang hakekat, alami, dan sangat mendasar. Segala sesuatu yang mendasar itu ada dua yaitu diintensifkan (diperdalam sedalam-dalamnya) maupun diekstensifkan (diperluas seluas-luasnya).
Mitos atau mite adalah cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah masa lalu, yang mengandung penafsiran tentang alam semesta serta keberadaan makhluk di dalamnya, dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Dalam pengertian yang lebih luas, mitos mengacu kepada cerita tradisional (cerita kuno). Pada umumnya, mitos menceritakan kejadian alam semesta, dunia dan para makhluk penghuninya, bentuk topografi, kisah para mahkluk supranatural, dan sebagainya. Mitos bisa muncul dari catatan peristiwa sejarah yang terlalu dilebih-lebihkan, sehingga keberadaan mitos dapat mempengaruhi pengalaman manusia sekalipun tidak berdasarkan logika pemikiran.
Kata logos sangat erat hubungannya dengan penciptaan, kristologi, soteriologi, dan teologi. Kata logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sabda, atau "buah pikiran" yang diungkapkan dengan perkataan, pertimbangan nalar, atau arti. Dalam bahasa Ibrani, berarti hal yang berada di belakang, yang berarti firman Tuhan, yang dianggap sejajar dengan hikmat, yaitu perantara (wasilah) Tuhan dengan makhluk ciptaannya. Logos juga bisa dihubungkan dengan logika karna logika itu sendiri memiliki arti suatu pemikiran yang membuat kita mengetahui mana yang masuk akal dan mana yang tidak masuk akal. Atau sesuatu yang masuk akal itu bisa disebut sesuatu yang logis
Hal ini sangat jelas berbeda dengan mitos, karna pada penjelasan yang telah diuraikan diatas mitos disebut sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, maka logos mempunyai arti yang sebaliknya dari mitos, logos lebih mengedepankan sesuatu yang logis dan dapat diterima oleh akal.dari uraian disini maka sangatlah terlihat jelas bahwasanya mitos dan logos merupakan sesuatu yang sangat berbeda dan bertolak belakang antara satu dengan yang lain.
Secara hakikat pikiran itu ada dua, yaitu mitos dan logos. Logos berkaitan dengan bekerja, sehingga kita mengetahui apa yang kita kerjakan. Sepeti halnya ibadah, kita beribadah dengan keadaan di mana kita tahu dan sadar apa yang kita kerjakan karena adanya kepercayaan dalam diri, bukan mitos. Sedangkan mitos adalah kita bekerja tapi tidak tahu apa yang kita kerjakan, misalnya saat kita balita, mengapa kita harus makan kita belum tahu. Hal ini seperti yang diilustrasikan oleh Marsigit (2013) bahwa anak kecil atau bayi melakukan aktivitas bukan karena memahami terlebih dulu, melainkan sebaliknya. Maka dapat dikatakana bahwa bayi atau anak kecil itu belajarnya menggunakan mitos, percaya saja pada ucapan Ibunya kemudian dilaksanakan. Seandainya kita tarik dimensi vertikalnya, maka akan banyak sekali pemikiran tanpa dilandasi pemahaman. Segala pengetahuan kita akan menjadi mitos jika sekiranya dan sebetulnya kita mampu untuk berikhtiar memahaminya, namun kita enggan berikhtiar.
Mitos dan logos seiring berjalan dibatasi oleh adanya etik dan estetika. Unsur-unsur fenomenologi yang terdiri makro dan mikro bahkan abstrak diterjemahkan secara hermeneutika sehingga fenomena-fenomena tersebut dapat diabstraksi. Di mana unsur dasarnya dapat berupa: sifat, hubungan, relasi, transformasi (berasal dari unsur-unsur fenomena) yang berjalan sesuai time-line nya. Kesemuanya juga dipengaruhi oleh adanya kuasa tuhan, persepsi, pikiran yang idealisme tanpa mengesampingkan realita dan ciptaan tuhan.
Pikiran itu konsep dan konsep itu di dalam rasio. Di dalam rasio berlaku hukum identitas, seperti halnya matematika. Dalam matematika, 5 + 4 = 9, dan akan selalu memiliki jawaban yang sama tanpa dipengaruhi oleh adanya perubahan runag dan waktu. Sedangkan di dunia realita bergantung pada objek yang ada, sehingga sangat dipengaruhi oleh adanya ruang dan waktu. Objek-objek realita memiliki sifat yang kontradiksi dengan apa yang ada di dalam pikiran, sehingga objek yang ada di dalam pikiran tidak selalu sama dengan objek yang ada di realita. Di atas konsep ada norm yang jika diteruskan akan menjadi belief.
Hermeunitika (menciptakan pemahaman terhadap karya dan tindakan manusia dengan menginterpretasikan sifat-sifat dan arti pentingnya. Ini berarti dapat memahami perasaan dan maksud orang lain, memahmai makna suatu peristiwa, menerjemahkan tindakan suatu kelompok tersebut atau mengungkap suatu makna dari suatu tulisan. Dengan demikian, fenomena-fenomena yang terjadi dalam timeline hidup memerlukan asas hermeneutika sebagai metode penafsiran dari fenomena-fenomena yang tercipta. Berasal dari fenomena-fenomena yang ada di lapangan sebagai fakta, yang juga bersifat dinamis dan terus berkembang, maka akan menghasilkan teori (grounded theory). Data yang telah diperoleh dianalisis menjadi fakta, dan dari fakta diinterpretasi menjadi konsep. Jadi prosesnya adalah data menjadi fakta, dan fakta menjadi konsep.
Selain itu, dalam menggunakan metode penafsiran diperlukan adanya perlakuan intensif (diperdalam) dan ekstensif (diperluas). Sehingg fenomena yang terjadi dapat dimaknai secara mendalam dan luas. Peran intuisi memiliki juga penting untuk mengingat dalam menjabarkan langkah-langkah selanjutnya. Seperti halnya jika kita ingin menuliskan d = c2 yang mana kita telah menuliskn dan ingat bahwa a + b = c. Sifat satu dengan sufat yang lainnya saling melengkapi dalam timeline hidup. Secara keseluruhan, timeline hidup yang dikemas dalam hermeneutika fenomena menjadi abstraksi besar dari pemodelan matematika.

D.    Matematika Formal

Formal merupakan suatu metode dalam menyusun penalaran yang logis, konsisten, terstruktur, koheren, analitik dan ideal. Dalam hal ini logika merupakan hal yang fundamental dalam memahami metode formal. Logika (Beth, 1962) merupakan teori deduktif inferensial yang berkaitan erat dengan konsep himpunan, premis dan modus Ponens. Dalam membangun konstruksi logika, perlu ditetapkan (F) formula-formula (U, V, W, ...) yang merupakan terdiri dari atom-atom (A, B, C, ...) pada suatu himpunan (K). Dengan ketetapan inilah, melalui penerapan modus Ponens, metode Formal dikembangkan hingga diperoleh kesimpulan (Z). Beth (1962) menjelaskan bahwa terdapat tiga konsepsi logika sebagai suatu teori deduksi inferensial, yaitu teori deduksi murni (formalis), semantik, dan aksiomatik. Ketiganya memiliki keterkaitan satu sama lain. Sehingga untuk dapat memahami dan mengembangkan logika secara lengkap dan mudah, kita harus mempelajari ketiganya.
Menurut Ernest, teori dari paham formalisme terdiri dari dua klaim yaitu (1) matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak ditafsirkan (kosong dari arti), di mana kebenaran matematika diwakili oleh teorema formal. (2) Dan keamanan sistem formal (bebas dari berbagai macam kontradiksi dan paradoks) ini dapat ditunjukkan dalam hal kebebasan mereka dari tidak konsisten nan (ketidakserasian), dengan menggunakan meta-matematika. Ernest menganalogikan bahwa formalisme adalah pandangan bahwa matematika adalah permainan formal tanpa arti yang dimainkan dengan coretan di atas kertas  dengan mengikuti aturan yang telah ada. Matematika juga dapat direduksi hanya menjadi sebuah permainan intelektual, layaknya catur. Menurut aliran formalisme, matematika sekedar rekayasa simbol berdasarkan aturan tertentu untuk menghasilkan sebuah sistem pernyataan tautologis, yang memiliki konsistensi internal, tetapi kosong dari makna.
Dalam aliran formalisme, kebenaran matematika adalah kebenaran menurut definisi atau persyaratan yang menentukan makna dari term-term kunci. Persyaratan ini memberikan ciri khas bahwa kebenaran matematika tidak memerlukan bukti empiris. Kebenaran matematika semata-mata dapat ditunjukkan dengan menganalisis makna yang terkandung dalam term-term di dalamnya, yang di dalam logika disebut sebagai benar secara apriori yang mengindikasikan bahwa nilai kebenarannya bebas secara logis dari sebarang bukti eksperimental. Aliran formalisme menganjurkan pendekatan murni abstrak, berangkat dari prinsip awal, dan mendeduksi segalanya dari prinsip awal tersebut. Karya yang dihasilkannya sama sekali tidak mempunyai (dan memang tidak perlu mempunyai) hubungan dengan ilmu pengetahuan dan dunia nyata. Gambaran secara sederhananya adalah ketika dalil pytagoras tidak sesuai dengan pengukuran dalam dunia nyata, maka yang salah bukanlah matematikanya (dalil pytagorasnya) melainkan karena keterbatasan indra kita dalam melakukan perhitungan dan sejatinya bangun dua dimensi adalah abstrak (tidak ada dalam dunia nyata). Sejalan dengan hal ini, Einstein memberikan pandangannya (Suriasumantri, 2005), ”Sepanjang hukum-hukum matematika mengacu pada realita, hukum-hukum itu tidak pasti; dan sepanjang hukum-hukum itu pasti, mereka tidak mengacu pada realita.
Dalam pandangan aliran formalisme ini kebenaran matematika adalah kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat, tidak dapat direvisi, mutlak benar dan pasti yang didasarkan pada deduksi murni, yang merupakan satu-satunya metode pembuktian dalam matematika bahwa proposisi-proposisi itu pasti benar asalkan postulat (aksioma) yang mendasarinya itu benar. Hal ini juga yang mengakibatkan aliran formalisme termasuk dalam aliran absolutisme matematika.
Jejak filsafat formalisme matematika dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Uskup Berkeley, tetapi pendukung utama formalisme adalah David Hilbert (1925), diteruskan oleh J. Von Neumann (1931) dan H.Curry (1951). Program formalis Hilbert bertujuan untuk menerjemahkan matematika ke dalam sistem formal yang tidak ditafsirkan. Dengan menggunakan metamathematics yang terbatas tetapi bermakna, sistem formal harus terbukti memadai untuk matematika, dengan menurunkan rekan-rekan formal dari semua kebenaran matematika, dan aman untuk matematika, melalui bukti-bukti konsistensi. Aliran Formalisme banyak dianut oleh matematikawan Amerika akibat pengaruh Oswald Veblen dan V.E. Huntington. Aliran ini sering disebut aliran postulatsional atau aliran aksiomatik dan dalam pendidikan matematika melahirkan jenis matematika yang disebut matematika modern (New Math) seperti yang sekarang diberikan di sekolah-sekolah dan perkuliahan.

E.     Perkembangan Matematika

1.      Zaman Mesir dan Yunani Kuno

Penemuan matematika pada jaman Mesopotamia dan Mesir Kuno, didasarkan pada banyak dokumen asli yang masih ada ditulis oleh juru tulis. Selain itu, matematika pada jaman Mesir Kuno dapat dipelajari dari artefak yang ditemukan yang kemudian disebut sebagai Papyrus Rhind yang mana berkaitan dengan kerajaan yaitu mulai dari zaman Babylonia (2000 SM) dan terus berkembang hingga saat ini.
Sejak zaman Yunani Kuno setidaknya telah ada matematikawan penting yaitu Thales dan Pythagoras yang mana mereka mempelopori pemikiran dalam bidang Geometri. Pythagoras yang memulai melakukan atau membuat bukti-bukti matematika dengan mengkonstruk bangun persegi dan segitiga sebagai penemuan teoremanya. Namun, Teorema Pythagoras ini telah dulu ditemukan pada saat geometri dan aljabar kuno yaitu mereka mencoba mencari hubungan antara panjang sisi-sisi persegi panjang yang kemudian mereka menemukan bentuk segitiga siku-siku. Para pengikut Pythagoras berusaha untuk menemukan secara pasti panjang sisi miring suatu segitiga siku-siku. Namun, mereka tidak dapat menemukan angka yang tertentu dengan skala yang sama yang berlaku untuk semua sisi-sisi segitiga tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan persoalan incommensurability, yaitu adanya skala yang tidak sama agar diperoleh bilangan yang tertentu untuk sisi miringnya. Jika dipaksakan digunakan skala yang sama (commensurabel) maka pada akhirnya mereka menemukan bahwa panjang sisi miring bukanlah bilangan bulat melainkan bilangan irrasional.
Selain itu, pada zamannya tersebut, logika formal bermula dari silogisme Aristoteles yang beliau kemukakan dalam Prior Analytics (Aristote dalam Guerrier, 2008).  Aristotle, dalam bukunya On Interpretation (Aristote dalam Guerrier, 2008), mengekstrak pernyataan formal dari bahasa yang umum, lalu memberikan suatu bentuk standar dalam mengkuantifikasi pernyataan dan memperjelas perbedaan antara kontradiksi (dimana dua nilai kebenaran yang berbeda dihadapkan,misal setiap A adalah B atau beberapa A tidak B) dan contrariety (oposisi yang lebih radikal yang memberikan kemungkinan kedua pernyataan bernilai salah, misal setiap A adalah B atau tidak ada A yang B). Kemudian dalam the Prior Analytics, Aristotle menawarkan suatu definisi yang akurat tentang silogisme, yang bernama pernyataan kondisional dengan dua premis dan sebuah kesimpulan (semuanya merupakan pernyataan terkuantifikasi) yang mematuhi seperangkat aturan yang presisi. Contohnya, “Jika beberapa dari A adalah B dan setiap B adalah C, maka beberapa dari A merupakan C” (1), atau “jika setiap A adalah B dan beberapa B adalah C, maka beberapa A adalah C (2). Berdasarkan definisi tersebut, Aristoteles kemudian mengelompokkan silogisme menjadi dua kategori: yang mengarah dari kebenaran kepada kebenaran sebagaimana interpretasi A, B dan C pada contoh (1), dan yang mungkin memiliki premis yang bernilai benar dan konklusi yang bernilai salah sebagaimana pada contoh (2). Aristoteles pertama-tama menyatakan bahwa beberapa silogisme jelas kevalidannya, artinya setiap orang akan sepakat dengan fakta yang mempertahankan kebenarannya. Silogisme pertama yang paling terkenal adalah “Jika setiap A adalah B dan setiap B adalah C, maka setiap A adalah C.” Kemudian beliau memberikan beberapa konversi aturan yang tetap menjamin kevalidan silogisme seperti mengganti “beberapa A adalah B” dengan “Beberapa B adalah A” dimana keduanya jelas ekivalen (sinonim). Sehingga Aristotels dapat membuktikan lewat sintaks bahwa beberapa silogisme valid secara logis. Selain itu, untuk setiap silogisme yang dapat disusun dalam sistemnya, dapat beliau buktikan secara sintaksis bahwa hal tersebut valid atau memberikan bukan contoh untuk menunjukkan bahwa hal tersebut tidaklah valid. Dengan menggunakan cara ini, Aristoteles menggunakan proses sintaks dan semantik. Konsekuensinya, beliau membedakan antara kebenaran pada sebuah interpretasi dengan validitas logis. Aristoteles menilai kebenaran sebagai suatu kebutuhan ketika hal tersebut merupakan konklusi dari silogisme yang valid dengan premis yang bernilai benar. Dan membedakannya dengan kebenaran faktual, atau kebenaran yang diperoleh hanya sebagai konsekuensi dari kebenaran lainnya. Meskipun sistem logika formal Aristoteles jelas belum cukup dalam penalaran Matematika, namun ia telah mengembangkan konsep mendasar dari logika yang penting dalam dunia logika modern saat ini, khususnya interpretasi semantik dan turunan formalnya.
Sementara, orang-orang Babilonia memprediksi suatu kejadian dengan mengaitkan dengan fenomena perbintangan, seperti gerhana bulan dan titik kritis dalam siklus planet menggunakan sistem bilangan sexagesimal hingga memberi perkembangan pada bidang aritmatika. Dalam tulisan Marsigit, perkembangan matematika pada zaman Mesir Kuno juga mendapat pengaruh dari Babilonia.    Dari salah satu bencana banjir bandang yang menyebabkan tanah tertimbun hingga beberapa meter, muncullah gagasan atau ide tentang luas daerah, batas-batas dan bentuk-bentuknya yang terkait dengan geometri.
Prestasi bangsa Yunani Kuno yang monumental adalah adanya karya Euclides tentang Geometri Aksiomatis. Sumber utama untuk merekonstruksi pra-Euclidean buku karya Euclides bernama Elemen (unsur-unsur), di mana sebagian besar isinya masih relevan dan digunakan hingga saat kini. Element terdiri dari 13 jilid. Buku I berkaitan dengan kongruensi segitiga, sifat-sifat garis paralel, dan hubungan daerah dari segitiga dan jajaran genjang; Buku II menetapkan kehimpunanaraan yang berhubungan dengan kotak, persegi panjang, dan segitiga; Buku III berisi sifat-sifat Lingkaran; dan Buku IV berisi tentang poligon dalam lingkaran. Sebagian besar isi dari Buku I-III adalah karya-karya Hippocrates, dan isi dari Buku IV dapat dikaitkan dengan Pythagoras, sehingga dapat dipahami bahwa buku Elemen ini memiliki sejarahnya hingga berabad-abad sebelumnya. Buku V menguraikan sebuah teori umum proporsi, yaitu sebuah teori yang tidak memerlukan pembatasan untuk besaran sepadan. Ini teori umum berasal dari Eudoxus. Berdasarkan teori, Buku VI menggambarkan sifat bujursangkar dan generalisasi dari teori kongruensi pada Buku I.  Buku VII-IX berisi tentang apa yang oleh orang-orang Yunani disebut "aritmatika," teori bilangan bulat. Ini mencakup sifat-sifat proporsi numerik, pembagi terbesar, kelipatan umum, dan bilangan prima(Buku VII); proposisi pada progresi numerik dan persegi (Buku VIII), dan hasil khusus, seperti faktorisasi bilangan prima yang unik ke dalam, keberadaan yang tidak terbatas jumlah bilangan prima, dan pembentukan "sempurna" angka, yaitu angka-angka yang sama dengan jumlah pembagi (Buku IX). Dalam beberapa bentuk, Buku VII berasal dari Theaetetus dan Buku VIII dari Archytas. Buku X menyajikan teori garis irasional dan berasal dari karya Theaetetus dan Eudoxus. Buku Xiberisi tentang bangun ruang; Buku XII membuktikan theorems pada rasio lingkaran, rasio bola, dan volume piramida dan kerucut.

2.      Matematika di Eropa dan Kontribusi Hilbert

Matematika terus dikembangkan oleh para filsuf mulai dari tempat satu menuju tempat lain hingga muncullah perkembangan matematika di India yang masih erat kaitannya dengan perkembangan matematika islam. Kemudian, dikembangkan secara menyebar ke daerah Eropa hingga dikenal dengan matematika modern hingga abad ke 15.  Penemuan alat cetak mencetak pada jaman modern, yaitu sekitar abad ke 16, telah memungkinkan para matematikawan satu dengan yang lainnya melakukan komunikasi secara lebih intensif, sehingga mampu menerbitkan karya-karya hebat. Hingga sampailah pada jamannya Hilbert yang berusaha untuk menciptakan matematika sebagai suatu sistem yang tunggal, lengkap dan konsisten. Namun usaha Hilbert kemudian dapat dipatahkan atau ditemukan kesalahannya oleh muridnya sendiri yang bernama Godel yang menyatakan bahwa tidaklah mungkin diciptakan matematika yang tunggal, lengkap dan konsisten (teorema ketaklengkapan Godel).

3.      Perkembangan Matematika Mulai Abad ke- 17

Peningkatan pesat dari matematika di abad ke-17 didasarkan sebagian pada pembaharuan terhadap matematika kuno dan matematika pada jaman Yunani. Mekanika dari Galileo dan perhitungan-perhitungan yang dibuat Kepler dan Cavalieri, merupakan inspirasi langsung bagi Archimedes. Studi tentang geometri yang dilakukan oleh Apollonius dan Pappus dirangsang oleh pendekatan baru dalam geometri-misalnya, analitik yang dikembangkan oleh Descartes dan teori proyektif dari Desargues Girard.
Kebangkitan matematika pada abad 17 sejalan dengan kebangkitan pemikiran para filsuf sebagai anti tesis abad gelap dimana kebenaran didominasi oleh Gereja. Copernicus merupakan tokoh pendobrak yang menantang pandangan Gereja bahwa bumi sebagai pusat jagat raya; dan sebagai gantinya dia mengutarakan ide bahwa bukanlah Bumi melainkan Mataharilah yang merupakan pusat tata surya, sedangkan Bumi mengelilinginya. Jaman kebangkitan ini kemudian dikenal sebagai Jaman Modern, yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir filsafat sekaligus matematikawan seperti Immanuel Kant, Rene Descartes, David Hume, Galileo, Kepler, Cavalieri, dst.
Meskipun logika telah menjadi pusat penelitian para filsuf dan ilmuwan, perkembangan yang spektakuler hanya dirasakan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Frege dan Russell merupakan sosok utama dalam masa kebangkitan ini. Revolusi yang diperkenalkan oleh Frege meliputi elaborasi terhadap bahasa simbolik, memperkayanya menggunakan bahasa Matematika, dan menerjemahkannya dalam operasi logika (penghubung and kuantor). Dalam tulisannya (Frege dalam Guerrier, 2008), Frege mengekspos proyeknya dalam memperbarui logika agar menghasilkan penalaran matematika yang akurat secara sempurna. Frege berpendapat bahwa bahasa umum tidak dapat mencapai tingkatan akurat (rigor). Frege meyakini bahwa dalam konteks umum pengalaman kita mungkin cukup untuk menghindari banyak kesalahan. Namun hal tersebut tidak berlaku pada kasus yang lebih kompleks seperti Matematika. Selain itu, logika yang dinyatakan dalam bahasa umum tidak cukup untuk menjamin bahwa rantai inferensi tidak terdapat gap/pemisah. Ideografi Frege mampu mengungkap struktur matematika yang terdalam melalui formalisasi perbedaan antar pernyataan tunggal dan umum, dan dengan menunjukkan cakupan generalisasinya dalam hubungan seperti negasi dan implikasi. Hal ini merupakan suatu yang penting dalam menyelesaikan ambiguitas yang terjadi pada bahasa umum.
Kemerling, G. 2002, menjelaskan bahwa titik puncak dari pendekatan baru untuk logika terletak pada kapasitasnya untuk menerangi sifat penalaran matematika, sedangkan kaum idealis berusaha untuk mengungkapkan hubungan internal dari realitas absolut dan pragmatis ditawarkan untuk memperhitungkan manusia Permintaan sebagai pola longgar investigasi, ahli logika baru berharap untuk menunjukkan bahwa hubungan paling signifikan antara dapat dipahami sebagai murni formal dan eksternal. Kemerling mencatat bahwa matematikawan seperti Richard Dedekind menyadari bahwa atas dasar ini dimungkinkan untuk membangun matematika tegas dengan alasan logis, sedangkan Giuseppe Peano telah menunjukkan pada 1889 bahwa semua aritmatika dapat dikurangi ke sistem aksiomatis dengan hati-hati dibatasi himpunan awal mendalilkan . Pada sisi lain, Frege segera berusaha untuk mengekspresikan mendalilkan dalam notasi simbolik temuannya sendiri, dan dengan 1913, Russell dan Whitehead telah menyelesaikanmonumental Principia Mathematica (1913), dengan tiga volume besar untuk bergerak dari sebuah aksioma logis saja melalui definisi nomor bukti bahwa "1 + 1 = 2." Kemerling menyatakan bahwa meskipun karya Gödel dibuat menghapus keterbatasan dari pendekatan ini, signifikansi bagi pemahaman kita tentang logika dan matematika tetap undimmed.

a.      Kontribusi Frege

Salah satu aspek yang penting dari kontribusi Frege adalah definisi dari implikasi dan negasi (Frege dalam Guerrier, 2008). Beliau mendefinisikan hubungan suatu implikasi “Jika A, maka B” ekivalen dengan “negasi (negasi A dan B)”, dimana  hanya bernilai salah jika anteseden bernilai benar dan konsekuen bernilai salah. Frege menolak keberatan terhadap definisi ini dengan argumen bahwa tidak hanya karena alasan logika sehingga definisi harus bebas dari bahasa umum, tetapi juga tuntutan untuk menyusun jarak yang nyata dari bahasa umum. Sehingga ideografi Frege menampilkan definisi yang murni dari bahasa umum. Definisi yang dikemukakan Frege mirip dengan ‘‘material implikasi’’ yang didefinisikan oleh Russell (dalam Guerrier, 2008), bahwa pasti terdapat hubungan logis antara dua proposisi ketika antesedennya bernilai salah atau konsekuennya bernilai benar. Russell meyakini bahwa konsep alamiah dari implikasi adalah kondisi umum yang menegaskan bahwa setiap materi implikasi (ketentuan proposional) dalam suatu himpunan adalah bernilai benar.
Kebanyakan, aturan inferensi klasik yang berasosiasi dengan tautologi, sistem Wittgenstein dikenal sebagai ‘‘theory of valid inference.’’ Teori ini dipopulerkan oleh Quine, yang menyatakan bahwa inferensi tidak lain adalah implikasi (Quine dalam Guerrier, 2008). Sehingga, apa yang muncul dari Tractatus merupakan sistem formal yang bertujuan untuk menyediakan deskripsi fakta yang memadai. Dalam tulisannya tentang proposisi kalkulus, Wittgenstein dengan brilian mengatasi ketegangan antara formalisme dan deskripsi dunia. Tetapi ketika menghadapi logika kuantor, pertanyaan ini jarang dieksplor. Beberapa tahun kemudian, Tarski, berhasil menyelesaiakan logika kuantor dan meraih apa yang Wittgenstein peroleh pada proposisi logis.

b.      Kontribusi Tarski

Tarski (dalam Guerrier, 2008) dalam tulisannya yang berjudul “The concept of truth in languages of deductive sciences” menunjukkan bahwa tujuannya adalah menyusun definisi dari proposisi kebenaran yang memadai secara materi dan tepat secara formal. Proyek Tarski adalah menjembatani secara nyata antara sistem formal dan realita. Pada tahun 1944 dia mengemukakan kembali konsep kebenaran klasik milik Aristoteles dalam bahasa yang modern melalui definisi berikut: “‘the truth of a proposition lies in its agreement (or correspondence) with reality; or a proposition is true if it designates an existent state of things.’’ Kebenaran proposisi terletak pada kesepakatan (atau korespondensi) dengan realita, atau suatu proposisi bernilai benar jika ia membentuk status keberadaan sesuatu. Untuk mengelaborasi konstruksi rekursif dari kebenaran suatu proposisi, Tarski mengenalkan konsep yang lebih umum tentang ‘‘satisfaction of a propositional function (a predicate) by such or such objects, kesesuaian fungsi proposisi objek’’ kepada fakta bahwa ‘‘complex propositions are not aggregates of propositions, but obtained from propositional functions. Proposisi kompleks tidak beragregasi, tetapi diperoleh dari fungsi proposisi’’ Definisi ini menegaskan fakta bahwa status kebenaran dari sebuah fungsi proposisi mesti berlaku di dunia realita. Hal ini memungkinkan bagi kita untuk mengonstruk kriteria kesesuaian suatu formula yang kompleks terhadap predikat kalkulus pada struktur manapun secara rekursif dengan menggunakan intepretasi terhadap tiap huruf pada formula. Sehingga dapat didefinisikan ungkapan tentang “model for a formula”, yang mengatur suatu struktur interpretasi dari suatu formula yang memenuhi setiap rangkaian objek yang relevan. Hal ini menjadi jalan bagi Tarski dalam mendefinisikan notion yang fundamental tentang “konsekuensi logis dalam sudut pandang semantik”: suatu formula G menyesuaikan dari suatu formula F secara logis  jika dan hanya jika setiap model dari F merupakan model bagi G. Hal ini bermakna bahwa formula “ adalah benar untuk setiap intepretasi terhadap F dan G pada setiap struktur tak kosong. Contohnya, dalam konteks semantik, “Q(x)” merupakan konsekuensi logis dari “ Perhatikan bahwa ini merupakan ekstensi dari hasil korespondensi yang dihasilkan oleh Wittgenstein, dalam pemahaman bahwa “Q(x)” dan “ bukan merupakan variabel proposisi, tapi fungsi proposisi. Sehingga tidak mungkin untuk menggunakan tabel kebenaran secara langsung.
Model pendekatan teoritik dikembangkan oleh Tarski dalam bukunya Introduction to logic and to the methodology of the deductive sciences. Diketahui suatu teori deduktif yang memungkinkan memahami suatu sistem aksiomatik sebagai bahasa formal dan mengintepretasikan kembali sistem dengan interpretasi yang lain. Interpretasi dimana suatu aksioma bernilai benar disebut dengan model sistem aksiomatik. Pendekatan ini (Beth, 1962) menjadikan tak berhingga banyaknya formula sebagai aksioma, yang diperoleh dari beberapa aksioma tertentu yang digunakan berulang-ulang pada aturan inferensial. Aksioma-aksioma tersebut dinamakan tesis. Beberapa karakter tesis yang mendasar antara lain,
(I)               
(II)            
(III)         
Dari tesis-tesis tersebut dikembangkan menggunakan skema inferensial dan modus Ponens sehingga diperoleh berbagai teorema. Misalnya akan dibuktikan bahwa  juga merupakan tesis. Dari karakter aksioma I maka dapat disusun implikasi berupa (1)  (. Sedangkan dari karakter aksioma II dapat disusun implikasi (2) . Dari (1) dan (2) dengan skema (iij) maka diperoleh (Hal tersebut memberikan beberapa hasil yang penting: “Semua teorema dibuktikan dari suatu sistem aksiomatik yang valid untuk setiap interpretasi sistem”.
Teorema tersebut menunjukkan hubungan antara semantik dan sintak sekaligus mengarahkan kita kepada metode yang penting dalam pembuktian bahwa suatu pernyataaan bukan merupakan konsekuensi logis dari teori aksioma. Dengan begitu, Tarski telah memberikan perbedaan yang jelas antara kebenaran dalam suatu interpretasi dan kebenaran sebagai konsekuensi logis dari suatu sistem aksiomatik. Dibandingkan dengan kedua metode sebelumnya, metode aksiomatik memiliki perbedaan yang cuku jelas. Beth (1962) menjelaskan bahwa pendekatan aksiomatik tidak melibatkan analisis keterkaitan antara himpunan K yang memuat premis-premis U dengan himpunan L yang memuat konklusi-konklusi V. Melainkan menetapkan status istimewa terhadap suatu kumpulan formula yang disebut tesis. Tesis ini identik dengan tautologi. Namun keterkaitan dua teori sebelumnya dengan teori aksiomatik akan ditunjukkan dalam teorema-teorema. Misal pada teorema 9 (Beth, 1962), Setiap tesis adalah identitas logis. Dengan membangun tabel semantik yang cocok, kami pertama kali menunjukkan bahwa setiap aplikasi dari aksioma-schemata (I)-(III) adalah identitas logis. Kedua, akan dibuktikan bahwa jika kedua U dan  yang logis identitas, maka demikian juga V. Jadi misalkan bahwa di bawah valuasi tertentu w identitas, maka demikian juga V. Jadi misalkan di bawah valuasi tertentu w kami memiliki . Dengan U adalah logicalidentity, kita memiliki . Dengan aturan (S1), berikut bahwa w . Tapi ini bertentangan anggapan kami menurut yang  adalah identitas logis. Akhirnya, jika U menjadi tesis yang bebas. Maka harus ada batas tertentu untuk urutan formula (, yang merupakan bukti U sebagai tesis. Jika , atau U, bukan identitas logis, maka baik itu adalah satu-satunya rumus di urutan yang tidak identitas logis atau yang lain itu didahului oleh formula lain dalam urutan yang juga tidak identitas logis. Akan ada formula  pertama dalam urutan yang bukan merupakan identitas logis. Sekarang baik   adalah sebuah aplikasi dari salah satu skema aksioma (I) - (IIII) atau dapat juga ditemukan m dan n (l <m, n <j) sehingga   adalah    Namun, karena   bukan identitas logis, tidak dapat menjadi aplikasi skema aksioma dengan pengamatan pertama. Di sisi lain, karena  dan   mendahului , maka identitas logis. Tapi dengan kedua kami komentar, jika   adalah  adalah identitas logis, maka harus juga menjadi identitas logis. Hal berikut bahwa ada formula  seperti yang dijelaskan dapat ditemukan. Oleh karena itu , atau U, harus menjadi identitas logis.
            Implikasi hanyalah satu dari sekian hubungan-hubungan antar struktur yang dideduksi menggunakan ketiga pendekatan tersebut. Yang lainnya adalah disjungsi, konjungsi, dan negasi. Penjelasan tentang ketiga hubungan tersebut secara otomatis mengubah ketetapan-ketetapan sebelumnya yang hanya memuat hubungan implikasi. Selain itu, rangkaian yang disusun menggunakan hubungan-hubungan tersebut juga memiliki keterkaitan. Misalnya U  V yang dapat didefinisikan sebagai (UV) → V (Beth, 1962). Dengan hubungan-hubungan tersebut, maka teorema-teorema yang dapat dibangun semakin beragam. Misalnya Teorema 15 (Beth, 1962). Jika formula memuat implikasi dan negasi, dan jika ditambahkan skema aksioma (IX) dan (X) pada skema aksioma (I)-(III), maka Teorema 5-14 tetap valid. Kita tidak mengalami kendala dalam mengekstensika (pernyataan dan) pembuktian Teorema 8. Seperti Teorema 7, kita dua kali membandingkan dua fragmen khas dari tablo semantik untuk formula Z yang mewakili rangkaian K/L. Seperti pada (2), diamati bahwa aplikasi skema (v) dapat digantikan oleh aplikasi skema (i) dan (ij), asalkan ditambahkan rumus yang cocok  dan  pada antecendent. Misalkan U1, U2, ..., Um menjadi semua rumus yang ditambahkan dengan cara ini. Kemudian, secara jelas tableau semantik untuk urutan  yang dibangun di bawah skema (i), (ij), dan (v) akan tertutup, jika dan hanya jika tableau semantik untuk urutan (U1, U2, ..., Um)/Z yang dibangun di bawah skema (i) dan (ij) saja juga tertutup. Dalam pembangunan kedua, rumus U’ dan U’’ berperilaku seperti atom dan karenanya tableau kedua dapat dianggap sebagai formal deduksi dalam logika implikasional murni. Kemudian berdasarkan Teorema 7 (dalam bentuk aslinya), rumus:
adalah tesis logika implikasional murni implicationallogic. Karena U1, U2, ..., Um adalah aplikasi dari aksioma-skema (IX) dan (X), dibuktikan dengan modus ponen bahwa rumus Z adalah tesis logika sentensial dalam implikasi dan negasi. Teorema 7 dan 8 yang sekarang ini ditetapkan untuk versi yang besar dari logika sentensial, pembahasan teorema sisa menyajikan tidak ada kesulitan. Teorema 15 mengungkapkan kelengkapan teori deduksi logika sentensial dalam implikasi dan negasi. Sekarang harus dinyatakan dan dibuktikan teorema lain yang menyatakan kelengkapan teori definisi (atau kelengkapan fungsional) dari versi logika sentensial dan juga dijelaskan mengapa versi ini lebih penting daripada, logika sentensial pada implikasi dan konjungsi.
            Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, logika yang terkuantifikasi merupakan ekstensi dari proposisi logis, di mana hal tersebut merupakan jantung dari penalaran matematis. Dalam pembahasan kuantifikasi, formula memiliki variabel individu, pramater individu, dan melibatkan kuantifikasi seperti “semua” dan “ada”. Sehingga kebenaran dan deduksi menjadi lebih detail dan kompleks.  Pembahasan kuantifikasi juga berakibat pada penyesuaian terhadap notasi dan ketetapan yang telah dibuat sebelumnya. Sehingga dikenalkan predikat biner yakni kesamaan. Notion ini digunakan untuk menjelaskan aksioma dari dua kelompok, dengan melihat hubungan kesamaan dari parameter-parameternya. Selain itu, dikenalkan suatu fungsi yang merujuk pada parameter-parameter suatu predikat untuk memudahkan deduksi pada teorema-teorema berikutnya. Sebagaimana pada teorema 25 (Beth, 1962) misalkan formula (x)(y)(Ez)(t){V(x, y, t) z = t}  dapat ditarik kesimpulan dari himpunan K, misal f merupakan fungsi parameter yang tidak muncul dalam K, misal K0 diperoleh dengan menambahkan K formula
dan misal Z menjadi formula di mana parameter f tidak muncul. Kemudian Z akan dapat ditarik kesimpulan dari K0 jika dan hanya jika dapat ditarik kesimpulan dari K. Secara khusus, K0 akan konsisten secara formal jika dan hanya jika K secara formal konsisten. Beberapa penjelasan dari Teorema 25 adalah formula (x)(y)(Ez)(t){V (x, y, t)  z = t} mengungkapkan fakta bahwa ada, untuk setiap x dan y, tepat satu z yang, diambil sebagai nilai t, memenuhi ketentuan V(x, y, t). Kami biasanya mengungkapkan fakta ini dengan mengatakan bahwa z adalah fungsi dari x dan y dan itu adalah praktek saat ini untuk menunjukkan ini lebih eksplisit dengan memperkenalkan simbol fungsi f baru dan dengan menulis f (x, y) bukan z; rumus (x) (y) (t) [V (x, y, t)  f(x, y) = t] diambil untuk menentukan fungsi f. Teorema 25 membuat jelas bahwa praktek ini dapat dibuat karena tidak menghasilkan kontradiksi dan sejauh formula dalam notasi asli (tanpa f) yang bersangkutan, tidak ada teorema baru.

c.       Kontribusi Godel (Godel Number)

            Selanjutnya, setelah dilengkapi oleh kuantifikasi dan fungsi, teori deduksi dapat dibawa kepada formalisasi aritmatika. Dalam hal ini melibatkan bilangan asli beserta operasi-operasi biner seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, hingga eskponensial. Pada pembahasan ini sintaks dan semantik semakin mengerucut pada Matematika, yakni menyusun konsistensi dan koheren dari Matematika formal. Dalam rangka untuk membuat hubungan antara implikasi logika murni dan aritmatika (Beth, 1962), dikaitkan dengan setiap formula atau angka natural  g(U), yang disebut Godel number dan ditentukan oleh berikut ini:
(G1) Godel number  dari atoms A, B, C, ... masing-masing,
(G2)        
Pengenalan Godel number  memungkinkan kita untuk menyatakan sebagai berikut varian aritmatika dengan ketentuan (F3") dalam bagian 1: Angka natural g adalah Godel number  dari formula implikasi logika murni jika dan hanya jika ada urutan bilangan terbatas gl, g2, ..., gk seperti itu, untuk setiap j (1 <j <k), lebih baik adalah angka natural h sehingga gj = ke 7 atau dapat ditemukan bilangan natural m dan n
(l<m, n <j) sehingga gj =  , sedangkan gk = g.

d.      Kontribusi Gottfried Wilhem Leibniz dan Ketalengkapan Godel Kedua

Gottfried Wilhem Leibniz, sering dikenal dengan panggilan Leibnitz adalah seorang filsuf Jerman keturunan Sorbia dan berasal dari Sachsen. Leibniz tidak puas dengan sistem (filsafat) Aristoteles dan berusaha mengembangkan ide-idenya. Tahun 1661 (umur 15 tahun), dia masuk universitas Leipzig jurusan hukum hukum. Ternyata selama kuliah, waktunya justru lebih banyak digunakan untuk membaca buku-buku filsafat, meski akhirnya dia lulus di tahun 1663 sebelum pergi ke Jena. Di Jena, di bawah bimbingan matematikawan sekaligus filsuf terkemuka, yaitu Erhard Weigel, dia mulai memahami pentingnya pembuktian matematika terhadap logika dan filsafat,lebih khusus membedah pemikira Pythagoras. Weigel percaya bahwa bilangan adalah konsep paling dasar dari alam semesta dan ide-ide ini memberi pengaruh sangat mendalam bagi Leibniz. Leibnez memamerkan hasil-hasil penemuannya. Salah satu yang disebutkan adalah mesin penghitung yang dikatakannya jauh lebih hebat dibanding buatan Pascal, yang hanya dapat menangani tambah dan kurang; sedangkan mesin buatan Leibniz dapat menangani perkalian, pembagian dan menghitung akar bilangan.
Leibniz yang mendukung filosofi bahwa “any view applying to reason is a source of knowledge or justificationmengembangkan prinsip dasar kalkulus. Hasil kerja mereka kemudian memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan ilmu hitung baik matematika maupun fisika. Aplikasi kalkulus diferensial meliputi perhitungan kecepatan dan percepatan, kemiringan suatu kurva, dan optimalisasi. Aplikasi dari kalkulus integral meliputi perhitungan luas, volume, panjang busur, pusat massa, kerja, dan tekanan. Aplikasi lebih jauh meliputi deret pangkat dan deret Fourier. Selama berabad-abad, para matematikawan dan filsuf berusaha memecahkan paradoks yang meliputi pembagian bilangan dengan nol ataupun jumlah dari deret tak terhingga. Seorang filsuf Yunani kuno memberikan beberapa contoh terkenal seperti paradoks Zeno. Kalkulus akhirnya memberikan solusi, terutama di bidang limit dan deret tak terhingga, yang kemudian berhasil memecahkan paradoks tersebut.
Semua pernyataan matematika, bahkan kontradiksi yang dapat diturunkan dari aksioma-aksioma teori mengatur sebagai konsekuensi dari teorema menjadi pertanyaan kemungkinan dari teorema ketidaklengkapan Gödel kedua. Selanjutnya, dalam tulisannya, Masigit menjelaskan bahwa dalam realisme matematika, kadang-kadang disebut Platonisme, keberadaan dunia objek matematika independen dari manusia ini mendalilkan; kebenaran tentang obyek ditemukan oleh manusia, dalam pandangan ini, hukum alam dan hukum-hukum matematika memiliki status yang sama, dan "efektivitas" berhenti menjadi "masuk akal" dan tidak aksioma kita, tetapi dunia yang sangat nyata dari objek matematika membentuk yayasan. Ia menjelaskan bahwa pertanyaan yang jelas, kemudian, adalah: bagaimana kita mengakses dunia ini, beberapa teori modern dalam filsafat matematika menyangkal keberadaan yayasan dalam arti asli; beberapa teori cenderung berfokus pada praktek matematika, dan bertujuan untuk? menggambarkan dan menganalisis kerja aktual yang hebat matematika sebagai kelompok sosial, sedangkan, yang lain mencoba untuk menciptakan ilmu pengetahuan kognitif matematika, dengan fokus pada kognisi manusia sebagai asal dari keandalan matematika ketika diterapkan pada 'dunia nyata', dan karena itu, ini teori akan mengusulkan untuk menemukan dasar hanya dalam pemikiran manusia, tidak dalam 'tujuan' di luar konstruk. Singkatnya, masalah ini masih kontroversial.
Marsigit menuliskan dalam karya ilmiahnya bahwa Kalderon (2004) menyatakan bahwa aritmetika adalah analitik apriori; menjadi analitik, kebenaran aritmatika harus ditransformasikan ke dalam kebenaran logis oleh substitusi sinonim untuk sinonim, dan untuk bersikap apriori, kebenaran aritmatika harus memiliki himpunan setidaknya satu bukti dari tempat murni umum. Selain itu, Kalderon menyatakan bahwa Frege harus melaksanakan proyek matematika untuk menentukan apakah aritmatika dapat dibuktikan dari logika dan definisi saja. Sementara, Kalderon (2004) berpendapat bahwa kasus Frege untuk klaim bahwa aritmatika adalah analitik apriori memiliki tiga komponen yang merupakan argumen positif tunggal, sanggahan alternatif yang masih ada, yakni argumen terhadap Kant, dan definisi dan sketsa bukti Frege kasus di mana hanya akan selesai ketika definisi dan sketsa bukti secara formal. Menurut Frege, kebenaran aritmatika mengatur semua yang dapat dihitung dan masuk akal.
Sementara itu, Litlangs 2004, menambahkanbahwa bahwa Leibniz menganggap bahwa logika berjalan bersamaan dengan matematika, sedangkan Aristoteles menggunakan proposisi dari bentuk predikat, yaitu subjek dari logika, Leibniz berpendapat bahwa subjek berisi predikat yang adalah sifat yang tak terbatas yang diberikan oleh Tuhan. Menurut Leibniz, proposisi matematika tidaklah benar jika mereka berurusan dengan entitas kekal atau ideal, tetapi karena penolakan mereka secara logika tidak mungkin, maka proposisi matematika adalah benar tidak hanya untuk dunia ini, tetapi juga untuk semua kemungkinan yang ada. Litlangs menyatakan bahwa tidak seperti Plato, yang menanyakan untuk apalah sebuah bentuk fisik itu, sementara Leibniz melihat pentingnya notasi, sebagai sebuah simbolisme perhitungan, dan menjadi permulaan dari metode untuk membentuk dan mengatur karakter dan tanda-tanda untuk mewakili hubungan antara pikiran matematika.

e.       Teorema Ketaklengkaan Godel

Folkerts, M., 2004, merasa terpengaruh oleh program Hilbert, menyatakan bahwa bagaimanapun, Formalisme tidak tidak akan berlangsung lama. Pada tahun 1931 ahli matematika kelahiran Austria Amerika dan ahli logika Kurt Gödel menunjukkan bahwa tidak ada sistem jenis Hilbert di mana bilangan bulat bisa didefinisikan dan yang konsisten dan lengkap. Kemudian Gödel dan ahli matematika Inggris Alan Turing menunjukkan decidability yang juga tak terjangkau. Disertasi Gödel terbukti kelengkapan orde pertama logika, bukti ini dikenal sebagai Teorema Kelengkapan Gödel 's. Gödel juga membuktikan bahwa Hilbert benar tentang asumsinya bahwa meta-matematika adalah bagian dari bagian nyata dari matematika; ia menggunakan nomor teori sebagai contoh yang sepenuhnya beton dan kemudian menunjukkan bagaimana menerjemahkan berbicara tentang simbol ke berbicara tentang angka. Gödel ditugaskan kode untuk himpunaniap simbol sedemikian rupa bahwa yang disebut Gödel-angka dikalikan bersama-sama mewakili formula, menetapkan formula, dan hal lainnya dan kemudian seseorang dapat berbicara tentang Gödel-nomor menggunakan nomor teori. Folkerts menunjukkan bahwa untuk membuat Gödel-nomor untuk pernyataan dalam sistem formal, terlebih dahulu kita harus menetapkan himpunaniap simbol bilangan bulat yang berbeda mulai dari satu, kemudian menetapkan himpunaniap posisi dalam laporan bilangan prima berturut-turut yaitu mulai dengan 3. Folkerts mencatat bahwa Gödel-nomor untuk pernyataan itu adalah produk dari bilangan prima dibawa ke kekuatan nomor yang ditetapkan ke simbol dalam posisi pernyataan; sejak nomor dua bukan merupakan faktor dari jumlah Gödel-untuk sebuah pernyataan, semua pernyataan 'Gödel-angka akan aneh. Folkerts menunjukkan bahwa Gödel-nomor untuk urutan laporan dibangun dengan mengalikan bilangan prima keluar berturut-turut, dimulai dengan, nomor dua dibawa ke kuasa nomor Gödel-pernyataan yang muncul pada posisi dalam daftar.
Folkerts, M., 2004, mencatat bahwa agar kita dapat memaknai teorema kita dapat menuliskan daftar kalimat yang merupakan bukti tentang hal itu, sehingga Teorema Gödel 's-nomor kalimat terakhir dalam bilangan genap Gödel dan ini mengurangi bukti theorems ke properti nomor-teori yang melibatkan Gödel-angka dan konsistensi dapat ditampilkan melalui nomor teori. Folkerts menunjukkan bahwa Gödel menunjukkan sesuatu yang bisa kita mewakili dalam sistem formal dari sejumlah teori adalah finitary. Gödel menunjukkan bahwa menurutnya jika S menjadi sistem formal untuk nomor teori dan jika S adalah konsisten, maka ada kalimat, G, seperti bahwa baik G maupun negasi dari G adalah Teorema dari S, dan dengan demikian, himpunaniap sistem formal memadai untuk menyatakan theorems dari nomor teori harus lengkap. Gödel menunjukkan bahwa S dapat membuktikan P (n) hanya dalam kasus n adalah Gödel-nomor yang Teorema dari S; maka di sana ada k, sehingga k adalah Gödel-jumlah rumus P (k) = G dan pernyataan ini kata dari dirinya sendiri, tidak dapat dibuktikan. Menurut Gödel, bahkan jika kita mendefinisikan sebuah sistem formal baru S = S + G, kita dapat menemukan G yang tidak dapat dibuktikan di S, dengan demikian, S dapat membuktikan bahwa jika S adalah konsisten, maka G tidak dapat dibuktikan. Gödel menjelaskan bahwa jika S dapat membuktikan cst (S), maka S dapat membuktikan G, tetapi jika S adalah konsisten, tidak dapat membuktikan G, sehingga tidak dapat membuktikan konsistensi. Dengan demikian, Program Hilbert tidak bekerja, satu tidak dapat membuktikan konsistensi teori matematika. Namun, Folkerts menunjukkan bahwa Gentzen melihat Teorema ketidaklengkapan Gödel dan bertanya-tanya mengapa sistem formal untuk aritmatika sangat lemah bahwa itu tidak dapat membuktikan konsistensi sendiri. Menurut Gentzen, penyempitan alami pada bukti adalah bahwa mereka adalah daftar terbatas laporan, karena itu, Gentzen menawarkan teori aritmatika yang kemudian memungkinkan bukti konsistensi dari sistem formal dari aritmatika; di mana ia memperkuat aksioma induksi matematika , yang memungkinkan sebuah aksioma induksi kuat. Sementara induksi tradisional mengasumsikan domain memiliki tipe ketertiban; Namun Gentzen mengasumsikan bahwa domain memiliki jenis, agar lebih rumit lebih tinggi.
Thompson, P., 1993, menjelaskan bahwa Gödel berpendirian bahwa intuisi kita dapat digunakan untuk bekerja dalam domain yang sangat aksiomatis, seperti perpanjangan ZF, atau kalkulus, sehingga memungkinkan kita untuk membuat pertimbanganyang baik untuk menerima atau menolak hipotesis secara independen dari pra-teori atau praduga tentang teori. Thompson menunjukkan bahwa Gödel dan Herbrand, secara bersama-sama membuat klaim tentang demarkasi batas-batas kemampuan intuisi.  Thompson menyimpulkan bahwa Gödel, dengan kemampuannya dalam logika transendental, senang berpikir bahwa logika kita hanya sedikit tidak fokus, dan berharap bahwa terdapat kesalahan kecil sehingga masih mampu melihat secara tajam dan mampu berpikir matematika secara benar. Namun untuk hal ini, dia berbeda pandangan dengan Zermelo dan Hilbert. Thompson menyatakan bahwa Hilbert tidak akan dapat meyakinkan kita bahwa matematika itu bersifat konsistensi untuk selamanya, karena itu kita harus puas jika sistem aksiomatis matematika seperti yang dibuat Hilbert dianggap konsisten, jika kita tidak mampu membuktikannya.

f.       Program Alan Turing dan Descrates

Di sisi lain, Folkerts menemukan bahwa Alan Turing mendefinisikan fungsi sebagai program untuk untuk menghitung dengan mesin sederhana di mana fungsi ini sama dengan apa yang Gödel pikirkan. Menurut Alan Turing, semua definisi dari fungsi yang berbeda dapat dihitung dengancara membuat himpunan yang sama dengan fungsi yang ada. Fungsi dapat dihitung karena yang paling banyak cara untuk program mesin Turing dan jumlah fungsi yang mungkin dapat ditetapkan, sehingga fungsi dapat ditentukan secara teoritis sebagai sebuah pengecualian. Alan Turing menunjukkan bahwa fungsi adalah relasi yang tak terhitung yang menghasilkan output yang tergantung pada variabel acak.
Sementara itu, Turan, H., 2004, menjelaskan bahwa Descartes membawa proposisi matematika ke dalam keraguan saat ia meragukan semua keyakinan tentang hakekat akal sehat dengan mengasumsikan bahwa semua keyakinan berasal dari persepsi tampaknya hanya sampai pada anggapan awal bahwa masalah yang dihadapinya sebetulnya adalah suatu keraguan tentang matematika, yaitu sebuah contoh dari masalah keraguan tentang keberadaan zat. Turan berpendapat bahwa masalahnya bukan apakah kita menghitung objek atau gambar yang sebenarnya kosong tapi apakah kita menghitung apa yang kita menghitung dengan benar, ia berpendapat bahwa karya Descartes adalah mungkin untuk mengekspos bahwa proposisi '2 +3 = 5 'dan argumen' Saya berpikir, maka saya ada, "sama-sama jelas. Menurut Turan, Descartes tidak menemukan epistemologinya pada bukti proposisi matematika, dan percobaan keraguan tampaknya tidak memberikan hasil positif untuk operasi matematika. Menurut Turan, kesadaran melaksanakan proposisi matematika yang tidak boleh untuk meragukannya, dan kesadaran melakukan operasi matematika atau logika adalah contoh dari "saya berpikir" dan karenanya argumen "Saya menghitung, karena itu aku ada 'setara dengan' Saya pikir , maka saya ada '. Turan menunjukkan bahwa jika kita berpendirian bahwa proposisi matematika tidak bisa menimbulkan kesulitan bagi epistemologi Descartes yang menurutnya untuk membangun pada kesadaran berpikir sendiri, maka dia tidak dapat dilihat untuk menghindari pertanyaan. Turan menyimpulkan bahwa proposisi matematika dengan sendirinya tidak bermanfaat jika mereka tidak boleh diragukan. Jika semua proposisi matematika kemudian dapat diragukan oleh Rene Descartes, maka seluruh logika umum tentunya juga akan diragukannya. Maka Rene Descartes kemudian menemukan bahwa hanya terdapat satu saja hal yang tidak dapat diragukan yaitu kenyataan bahwa dirinya itulah yang sedang meragukan. Oleh karena itu dia menyimulkan bahwa dia ada karena berhasil meragukannya. Atau cogito ergosum, saya berpikir maka saya ada. Tetapi kemudian Rene Descartes menemukan kenyataan bahwa dia tidak mampu menjawab semua keraguan tersebut, maka dia menemukan bahwa manusia, termasuk dia, adalah terbatas. Kemudian dia menyimpulkan pastilah ada yang tak terbatas, yaitu diri Tuhan YME.




DAFTAR PUSTAKA
Beth, Evert W. 1962. Formal methods. Dordrecth: D. Reidel Publishing Company
Ernest, Paul. 1995. The Philosophy of Mathematics, Value and Keralese Mathematics. Journal TMME, 14 (2).
Esty, Warren. The Language of Mathematics. https://www.academia.edu/573384/The_Language_of_Mathematics.
Guerrier. 2008. Truth versus validity in mathematical proof. ZDM Mathematics Education, 40 (1) p.373-384.
Marsigit. 2010. Modul filsafat ilmu. Universitas Negeri Yogyakarta.
_______. 2012. Sejarah dan filsafat Matematika. Disampaikan pada Workshop Guru SMK RSBI Yogyakarta.
_______. 2012. Hilbert's Program 1_Documented by Marsigit. https://powermathematics.blogspot.com/2012/11/hilberts-program-1documented-by-marsigit.html.
_______. 2012. Hilbert's Program 2_Documented by Marsigit. https://powermathematics.blogspot.com/2012/11/hilberts-program-2documented-by-marsigit.html.
________, Ilham R., & Mareta M. M. (2014). Filsafat matematika. Yogyakarta: UNY Press.
Hatcher, W. S. 2000. Foundations of Mathematics:
An Overview at the Close of the Second Millennium.
https://bahai-library.com/hatcher_foundations_mathematics.
Ross, D.S. 2003. Foundation Study Guide. http://www.ideas/philosophy.asp
----------. 2016. Pemodelan Matematika. Online. https://himatika.fmipa.ugm.ac.id/2016/11/25/permodelan-matematika/.
----------. International Mathematics Modelling Challenge. https://www.immchallenge.org.au/supporting-resources/what-is-mathematical-modelling.
Niss, M., Blum, W., & Galbraith, P. (2007). Introduction. In W. Blum, P. Galbraith, M. Niss, & H-W. Henn (Eds.), Modelling and Applications in Mathematics Education: The 14th ICMI Study, (pp. 3–32). New York: Springer.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Matematika di India

Matematika sebagai Ilmu Deduktif

Hilangkan Baper