MATEMATIKA MODEL
MATEMATIKA MODEL
PEMODELAN MATEMATIKA DALAM HIDUP
Guna
memenuhi tugas akhir mata kuliah Matematika Model
Dosen
Pengampu : Prof. Dr. Marsigit, M.A
Oleh :
Cinta Adi Kusumadewi 18709251059
Pendidikan Matematika C
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
A. Ontologi Matematika
Ontologi matematika berusaha
memahami keseluruhan dan kenyataan matematika, yaitu segala matematika yang
mengada (Marsigit, 2015: 95). Berkaitan dengan matematika, maka ontologis matematika menjadi suatu teknik
pendekatan yaitu untuk mencari pengertian akar dan dasar dari kenyataan
matematika. Secara ontologis, kita
akan berusaha mengkaji bagaimana mencari sesuatu dari setiap kenyataan yang
ditemukan terkait matematika. Selain itu, kita juga akan membahas apa yang
ingin kita ketahui tentang matematika serta menyelediki sifat dasar apa yang
ada secara fundamental. Oleh karena sudut pandang ini
membahas tentang keberadaan dan kebenaran suatu fakta matematika sebagai objek,
maka diperlukan proses berpikir untuk bisa menemukan kenyataan matematika
sebagai suatu objek yang benar. Menurut Ross, DS (2003) menyatakan
bahwa ada beberapa pertanyaan ontologis dalam Filsafat Matematika: Apa hakekat
objek matematika? Dengan cara bagaimana memperoleh objek matematika tersebut?
Apakah objek matematika merupakan ide seperti yang dipikirkan Plato? Dapatkah
objek matematika ada tanpa adanya objek lain?
Dengan adanya pendekatan ini sebagai
suatu teknik, maka muncullah beberapa tokoh yang mengutarakan dari berbagai
sudut pandang kecil demi menemukan tujuan dari kebenaran matematika, seperti platonisme, formalisme, logisisme,
intuisionisme, empirisme, dan lain-lain.
Kesemuanya berjalan dari pengambilan sudut pandang yang berbeda dan
rasional dengan tujuan yang sama. Sebagai contoh, menurut Ernest (1995), aliran
intusionisme mengakui aktivitas matematika manusia sebagai dasar dalam
penyusunan bukti atau objek-objek matematika, teori baru, dan juga mengakui bahwa
aksioma intuisi dari teori matematika secara mendasar tidaklah lengkap, dan
perlu ditambahkan sebagai kebenaran matematika yang lain baik secara intuisi
maupun secara informal.
Telah
banyak para ahli memberikan definisi tentang matematika sehingga memberikan
karakteristik pada matematika itu sendiri, seperti struktur-struktur logika,
kesistematisan matematika, pola pikir deduktif, pembuktian secara logika, dan
lain-lain.
Objek-objek
kajian dalam matematika bersifat abstrak, meliputi fakta, operasi (atau
relasi), simbol-simbol, konsep,
dan prinsip. Hal ini menimbulkan beberapa pandangan secara
filsafat mengenai objek matematika, yaitu :
1.
Formalisme, yaitu memandang matematika sebagai
sistem lambang yang formal. Selain itu, berkaitan erat dengan sifat-sifat
struktural dari simbol-simbol dan proses pengolahan terhadap lambang-lambang.
Oleh karena simbol-simbol dianggap sebagai sasaran yang menjadi objek
matematika maka aliran formalisme berusaha menyelidiki struktur dari berbagai
sistem formal.
2.
Intuisionisme yang mengakui bahwa aktivitas matematika manusia sebagai
dasar dalam penyusunan bukti, objek-objek matematika, teori baru, dan juga
mengakui bahwa perlu adanya tambahan sebagai kebenaran matematika yang lain
baik secara intuisi maupun secara informal.
3.
Logisisme yang berpendapat bahwa matematika terdiri atas deduksi-deduksi
dari prisip-prinsip logika. Akibatnya, logika merupakan masa muda dari
matematika dan matematika merupakan masa dewasa dari logika.
B.
Epistemologi
Matematika
Selanjutnya, ketika dalam proses
memahami terhadap keberadaan suatu objek matematika, perlu dilakukan beberapa
cara untuk menemukan konsep keberadaan suatu objek matematika, yakni dari segi
epistemologi. Secara epistemologi, hal ini menitikberatkan pada acara untuk
memperoleh sumber-sumber premis yang akan digunakan untuk memberi kesimpulan
terhadap adanya suatu objek matematika. Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara
struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut:
Dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya
terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem
dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat.
Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan
metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode
merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu
aspek yang tercakup dalam epistemologi. Dengan demikian, untuk menemukan suatu
konsep kebenaran dari objek matematika diperlukan adanya usaha untuk menemukan
sumber-sumber sebagai premis-premis dari suatu kesimpulan.
C.
Pemodelan Matematika
Model adalah representasi penyederhanaan dari
sebuah realita yang complex (biasanya bertujuan untuk memahami realita
tersebut) dan mempunyai feature yang sama dengan tiruannya dalam
melakukan task atau menyelesaikan permasalahan. Model adalah
karakteristik umum yang mewakili sekelompok bentuk yang ada, atau representasi
suatu masalah dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah dikerjakan. Dalam
matematika, teori model adalah ilmu yang menyajikan konsep-konsep matematis
melalui konsep himpunan, atau ilmu tentang model-model yang mendukung suatu
sistem matematis.
Matematika model atau pemodelan matematika merupakan bidang matematika yang berusaha
untuk mempresentasikan dan menjelaskan sistem-sistem fisik atau problem pada
dunia real dalam pernyataan matematika sehingga diperoleh pemahaman dari
problem dunia real ini menjadi lebih tepat. (Prayudi, 2006). Mathematical modelling is a
process in which real-life situations and relations in these situations are
expressed by using mathematics (Haines and Crouch, 2007).
Sederhananya, model
matematika merupakan usaha untuk menggambarkan suatu fenomena ke dalam bentuk
rumus matematis sehingga mudah untuk dipelajari dan dilakukan perhitungan. Models
describe our beliefs about how the world functions. In mathematical modelling, we translate those beliefs into the language of
mathematics (Marion, 2008).

Gambar Tahapan pemodelan Matematika
Secara rinci, tahapan pemodelan matematika adalah sebagai berikut:
1. Mengenali dan menamai variable bebas dan
tak bebas serta membuat asumsi-asumsi seperlunya untuk menyederhanakan fenomena
sehingga membuatnya dapat ditelusuri secara matematika.
2. Menerapkan teori matematika yang telah
diketahui pada model matematika yang telah dirumuskan guna mendapatkan kesimpulan
matematikanya.
3. Mengambil kesimpulan matematika tersebut
dan menafsirkannya sebagai informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang
dimodelkan dengan cara memberikan penjelasan atau membuat perkiraan.
4. Menguji perkiraan terhadap data riil. Jika
perkiraan yang kita buat tidak sebading dengan kenyataan, maka model yang
didapat perlu diperhalus atau merumuskan model baru dan memulai daur kembali.
Bisa juga dengan memperbaiki asumsi-asumsi yang diberikan.
Teori model diawali dengan asumsi
keberadaan obyek-obyek matematika (misalnya keberadaan semua bilangan) dan
kemudian mencari dan menganalisis keberadaan operasi-operasi, relasi-relasi,
atau aksioma-aksioma yang melekat pada masing-masing obyek atau pada
obyek-obyek tersebut. Indenpensi dua hukum matematis yang lebih dikenal dengan
nama axiom of choice, dan contnuum hypothesis dari aksioma-aksioma
teori himpunan (dibuktikan oleh Paul Cohen dan Kurt Godel) adalah dua hasil
terkenal yang diperoleh dari teori model. Telah dibuktikan bahwa axiom of choice dan negasinya konsisten
dengan aksioma-aksioma Zermelo- Fraenkel dalam teori himpunan dan hasil yang
sama juga dipenuhi oleh contnuum hypothesis. Model matematika yang diperoleh
dari suatu masalah matematika Teori model diawali dengan asumsi keberadaan obyek-obyek
matematika (misalnya keberadaan semua bilangan) dan kemudian mencari dan
menganalisis keberadaan operasi-operasi, relasi-relasi, atau aksioma-aksioma
yang melekat pada masing-masing obyek atau pada obyek-obyek tersebut.
Indenpensi dua hukum matematis yang lebih dikenal dengan nama axiom of choice, dan contnuum hypothesis dari aksioma-aksioma
teori himpunan (dibuktikan oleh Paul Cohen dan Kurt Godel) adalah dua hasil
terkenal yang diperoleh dari teori model. Telah dibuktikan bahwa axiom of choice dan negasinya konsisten
dengan aksioma-aksioma Zermelo- Fraenkel dalam teori himpunan dan hasil yang
sama juga dipenuhi oleh contnuum
hypothesis. Model matematika yang diperoleh dari suatu masalah matematika.
Pemodelan matematika merupakan proses dalam
memperoleh pemahaman matematika melalui konteks dunia nyata Dalam pemodelan
matematik bahwa masalah nyata yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
perlu disusun dalam suatu model matematik sehingga, mudah dicari
solusinya. Proses pembentukan model matematika melalui tahap abstraksi dan
idealisasi. Dalam proses ini diterapkan prinsip-prinsip matematika yang relevan
sehingga menghasilkan sebuah model matematika yang diharapkan. Beberapa hal
penting dan perlu agar model yang dibuat sesuai dengan konsep masalah antara
lain, masalah itu harus dipahami karakteristiknya dengan baik, disusun
formulasi modelnya, model itu divalidasi secara cermat, solusi model yang
diperoleh diinterpretasikan dan kemudian diuji kebenarannya. Metodologi dasar
dalam proses penentuan model matematika atau sering disebut pemodelan
matematika, ada beberapa tahap yaitu: a)
tahap masalah, b)
karakterisasi masalah, c) formulasi model matematika, d) analisis, e) validasi,
f) perubahan, dan g) model yang memadai.
1.
Pemodelan
Matematika Formal
Pemodelan matematika secara formal
merupakan proses dalam memperoleh pemahaman matematika melalui konteks dunia
nyata. Menurut Lovitt (1991) pemodelan matematika ditandai oleh dua ciri utama,
yaitu (1) pemodelan bermula dan berakhir dengan dunia nyata, (2) pemodelan
membentuk suatu siklus. (Senk dan
Thompson, 2003). Pemodelan matematika
adalah penyusunan suatu deskripsi dari beberapa perilaku dunia nyata
(fenomena-fenomena alam) ke dalam bagian-bagian matematika yang disebut dunia
matematika (mathematical world). Pemodelan matematika juga merupakan
representasi dari objek, proses, atau hal lain yang diharapkan dapat diketahui
polanya sehingga dapat dianalisis. (Dym and Ivey,
1980). Contoh pemodelan matematika adalah : Misalnya,
mutu lulusan sekolah dasar (M) tergantung atas beberapa faktor, seperti
kualitas guru (x1), kualitas masukan (x2), relevansi kurikulum (x3),
dan sarana penunjang pembelajaran (x4). Jika disusun rumusan unsur-unsur
ini, dapat dinyatakan bahwa mutu lulusan adalah fungsi dari faktor-faktor x1,
x2, x3, dan x4. Dalam bentuk model matematik hubungan ini
dapat ditulis dengan M = F (x1 ,x2 ,x3 ,x4 ) atau secara singkat
ditulis M = f (x) , dengan pemahaman bahwa variabel x mewakili
variabel x1 ,x2 ,x3 dan x4 .
a. 1.1 Matematika Non Standar
Setiap struktur matematika
tak hingga memiliki model yang tidak standar.
Hal ini merupakan fakta dasar dalam teori model, yaitu
struktur non-isomorfik yang memenuhi sifat dasar yang sama. Oleh karenanya,
ada hal yang berbeda namun memiliki struktur yang sama. Dengan mempertimbangkan
eksistensi non standar
dari sistem bilangan real, sehingga dapat memberikan solusi untuk masalah yang
tidak dapat diselesaikan selama berabad-abad. Untuk membuktikan teorema standar
menggunankan model yang tidak standard digunakan bilangan kompleks. Penggunaan
metode non standar yang berasal dari pemikiran logika akan menimbulkan matematika non standar yang kemudian dikontraskan
dengan matematika standar.
1. Pendekatan Superstruktur (teori himpunan pertama di semesta).
Pendekatan ini membahas penggunaan bilangan
kompleks untuk menyelesaikan masalah yang tidak standar, seperti interval,
fungsi, ruang fungsi, norma, topologi, dan sebagainya. Contoh lain, misalnya,
ruang F dari fungsi nyata diidentifikasi dengan subset dari subset
himpunan bagian himpunan himpunan bilangan real, dan topologi pada F
(sebagai kumpulan himpunan terbuka) adalah subset dari himpunan bagian F,
dan lain-lain.
2. Keterbatasan Dasar dari Pendekatan Superstruktur
a.
Model superstruktur hanya bagian dari ZFC.
b.
Superstruktur yang berbeda hanyak
diperuntukkan bagi masalah yang berbeda pula.
c.
Metode non standar tidak berkaitan dengan
superstruktur.
d.
Secara estetika, dapat memasukkan semua
teknik yang tidak standar di dalam sistem aksiomatik terpadu.
3.
Teori Himpunan Internal Nelson
Teori himpunan internal yang
diprakarsai oleh Edward Nelson merupakan sebuah
teori elegan yang diformulasikan sebagai hasil dari
posisi filosofis yang tepat. Berkenaan dengan
teori himpunan biasa, lambang st, yang disebut "standar" , merupakan bagian dari
bahasa formal. Dengan cara ini pengertian dari himpunan standar
adalah hubungan keanggotaan dengan sifat
yang sama, yaitu konsep dasar yang tidak boleh didefinisikan.
Aksioma teori himpunan
internal Nelson yaitu:
a.
ZFC, yitu semua
aksioma Zermelo-Fraenkel menetapkan teori dengan pilihan yang diasumsikan.
b.
Prinsip Transfer (T)
Untuk setiap
∈ -formula ϕ
yang variabel bebasnya x 1 , ..., x
n , y , berlaku: ∀ st x 1 ··· ∀ st x n ( ∀ st y ϕ ↔ ∀y ϕ )
c.
Prinsip Idealisasi (I)
Untuk setiap
∈ -formula ϕ
, berlaku:
∀ stfin x ∃y ∀x ∈ x ϕ ↔ ∃y ∀ st xϕ
d.
Properti Standardisasi
Untuk setiap
formula ϕ berlaku:
∀ st x ∃ st y ∀ st z [ z ∈ y ↔ ( z ∈ x ∧ ϕ )]
e.
Terdapat rumus ϕ,
dan anggap ϕ (0) dan ∀ st n ∈ N ϕ ( n )
→ ϕ ( n + 1), kemudian ∀ st n ∈ N ϕ ( n ).
4.
Teori tidak Standar Hrbacek
Hrbacek mengembangkan teori himpunan
yang tidak standar yaitu NS1 , NS2 dan NS3. Hrbacek
menambahkan beberpa
simbol pada teori himpunan, yaitu
predikat st (x) untuk "x adalah standar" dan predikat int (x) untuk "x adalah internal".
Tujuh
aksioma dari 3 teori NS Harbacek,
yaitu:
a.
ZFC untuk semesta standar.
b.
Sebuah fragmen ZFC untuk semesta eksternal
c.
Semua himpunan standar adalah internal
d.
Semesta dari himpunan internal adalah
transitif
e.
Prinsip Transfer
Untuk setiap ∈ -formula ϕ
yang variabel bebasnya x 1 , ..., x n , y , berlaku: ∀
st x 1 ··· ∀
st x n ( ϕ st ( x 1 , ..., x n ) ↔ ϕ int ( x 1 , ..., x n ))
f.
Properti Standardisasi :
∀a
∃ st b ∀
st x ( x ∈
a ↔ x ∈
b )
g.
Prinsip Idealisasi
5.
Teori Himpunan Non Standar Bertingkat (SNST)
Fletcher
Sistem Fletcher menyediakan seluruh hierarki internal
dan eksternal semesta. Postulat
SNST meningkatkan urutan semesta internal dan eksternal diindeks di atas kardinal.
Walaupun idealisasi penuh tidak berlaku, akan tetapi jumlah saturasi tertentu disediakan dengan
bekerja di tingkat yang sesuai dari hierarki. Aksioma SNST yang ditetapkan adalah sebagai berikut:
a.
ZFC untuk semesta standar
b.
ZFC ±
keteraturan yang lemah untuk semesta eksternal
c.
i
α ⊆ E α , i α ⊆ i β dan
E α ⊆
E β untuk
semua α ≤ β
d.
Setiap bagian yang sangat eksternal Eα \ iα adalah
transitif. Seluruh internal semesta i = α
i α bersifat transitif.
e.
Prinsip Transfer
f.
Properti Standardisasi
g.
Prinsip Idealisasi
∀α ∀ α r
[ r adalah hubungan biner ∧∃
S f f ( σ α ) = σ r ] →
[( ∀ Sfin a ⊆ dom ( r ) ∃ α b ∀ S a ∈ ar
( a, b )) → ( ∃
α b ∀
S a ∈
dom ( r ) r ( a, b )]
6.
Teori Himpunan Perluasan (EST)
Ballard
Dengan menghadirkan perluasan teori
himpunan, Ballard mampu menghindari masalah notasi
bahasa peringkat. Postulat EST untuk setiap
semesta U dan setiap U kardinal κ , ada perluasan tak
jenuh yang tidak standar κ U ⊇ U ( di mana U merupakan semesta). Aksioma EST diantaranya:
a.
Terdapat semesta U
b.
Untuk setiap semesta U dan untuk setiap U kardinal κ ,
ada κ perluasan jenuh U
⊇ U
7. Meningkatkan Pendekatan Internal: Teori BST dan HST
Dengan modifikasi minor dari IST, yaitu Bounded Set
Theory BST, seseorang dapat mengkodekan set eksternal ke dalamnya semesta
internal. Oleh karenanya, teori HST non
standar diperoleh dapat mengatasi kendala IST. Kanovei dan
Reeken mengusulkan sistem aksioma non standar,
yaitu:
a.
Untuk setiap φ aksioma ZFC, yang standar-perelatifan φst diasumsikan.
b.
Aksioma ekstensionalitas, pasangan, penyatuan,
ketidakterbatasan, pemisahan dan respon penempatan diasumsikan untuk kelas
universal (yaitu tanpa membatasi pembilang). Untuk formula yang mengandung
predikat st. Berikut ini aksioma keteraturan
yang lemah diasumsikan:
∀X = ∅∃x ∈ X x ∩ X ⊆ i
dan
aksioma pilihan ukuran standar
berikut juga diasumsikan:
∀x fungsi ∀f ukuran
standar dengan dom ( f ) = x
(
∀t ∈ xf ( t ) = ∅ ) → ( ∃g berfungsi dengan ∀t ∈ xg ( t ) ∈ f ( t )
c.
Semua himpunan standar adalah internal.
d.
Semesta dari himpunan internal bersifat
transitif.
e.
Prinsip Transfer.
f.
Properti Standardisasi.
g.
Prinsip Kejenuhan.
8. Teori Himpuan Relatif (RST) Péraire
RST memberikan versi relatif dari pendekatan internal
dengan cara relasi biner dari standar. Secara kasar, bukan hanya
mempertimbangkan himpunan standar dan tidak standar (ideal), semesta RST adalah
seluruh hierarki set yang diatur sesuai dengan urutan linier tingkat standar.
Beberapa aksioma
RST adalah sebagai berikut:
a.
Semua aksioma teori himpunan Zermelo-Fraenkel
dengan pilihan diasumsikan.
b.
Relasi biner st adalah total pre-order.
c.
Prinsip Transfer
Untuk setiap ∈ -formula ϕ
yang variabel bebasnya x 1 , ..., x n , y , berlaku:
∀ [ a ] x 1 ···
∀ [ a ] x n
( ∀ [ a ] y ϕ ↔ ∀y ϕ
)
d.
Idealisasi Terbatas.
e.
Idealisasi Tidak Terbatas.
f.
Properti Standardisasi.
9. Teori Kelas Non Standar (NCT) Gordon-Andreyev
NCT
memiliki atuan yang mirip dengan Teori Set Internal (dalam bentuk terikat
BST) yang meluas ke ZFC. Aksioma NCT diberikan formalisasi yang lebih
sederhana. Bahkan, transfer, idealisasi dan standardisasi diformulasikan
sebagai aksioma tunggal dan bukan aksioma schemata. Bahasa NCT diperoleh dengan
menambahkan simbol st untuk standar
kelas dard ke bahasa biasa teori kelas. Aksioma
NCT diantaranya yaitu:
a.
Semua aksioma teori kelas
Gödel-Bernays diasumsikan, di mana pilihan dipostulasikan untuk himpunan, dan penggantian mengambil bentuk
kumpulan aksioma:
∀V ∀x ∃y ∀u ∈ x ( ∃v 〈u, v〉 ∈ V ) →
( ∃v ∈ y 〈u, v〉 ∈ V )
Untuk setiap
aksioma keberadaan kelas, modifikasinya dengan quantifiers over variabel kelas
yang dibatasi oleh predikat st ( ∀ st , ∃ st ) ditambahkan.
b.
Terdapat kelas pada semua himpunan standar
c.
Batas ∀x ∃ st y x ∈ y
d.
Prinsip Transfer
e.
Properti Standardisasi
f.
Pemisahan untuk Kelas
Internal ∀ int X ∀x ∃y ( y = x ∩
X )
g.
Prinsip Idealisasi
h.
Properti Kejenuhan
Setiap
kelas Xp jenuh untuk beberapa
himpunan p.
10. Pendekatan ZFC
ZFC mempresentasikan sistem aksioma non konstan dimana
konsep dasar standar, internal dan eksternal, ketetapan, definisi
dan sifat-sifatnya yang perlu
dibuktikan.
Aksioma
ZFC diantaranya adalah sebagai
berikut:
a.
ZFC di mana skema pemisahan
dan penggantian juga diasumsikan
untuk formula yang mengandung simbol ∗. keteraturan yang lemah juga diasumsikan: ∀x = ∅
∃y ∈
xx ∩ y ⊆
I
b.
∗ adalah pemetaan dengan
domain S
c.
Embedding tidak standar ∗
menjaga semua operasi Gödel
d.
Skema Kejenuhan
[
∀x, y ∈
S ϕ S ( x ) ∧
ϕ S ( y ) → ( x = y ∧
“ x adalah kardinal”)]
∀κ
ϕ S ( κ ) → “ κ -saturation property”
2.
Pemodelan
Matematika Kehidupan
Dalam kehidupan
sehari-hari, kata model sering digunakan, dan mengandung arti sebagai contoh, miniatur, peta, image sebagai representasi
dari suatu masalah. Misalnya, model pakaian, model rumah. Secara umum istilah
tersebut di atas menggambarkan adanya padanan atau hubungan antara unsur-unsur
dari rumah dengan modelnya. Sebagai contoh, perbandingan antara panjang dan
lebar bangunan rumah dengan modelnya. Tetapi tidaklah berarti bahwa model rumah
dan rumah itu sendiri sama ukuranya dalam setiap hal. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa apabila ada suatu benda A (dapat berupa masalah, fenomena) dan
modelnya B, maka terdapat kumpulan unsur-unsur dam B yang mempunyai padanan
dengan A. Demikian pula terdapat suatu hubungan yang berlaku antara unsur-unsur
di B yang sesuai dengan
unsur-unsur sebagai padanannya di A.
Pemodelan
matematika juga dapat terjadi dalam kehidupan secara fenomena. Di mana timeline
seseorang sejatinya dibagi menjadi dua zona, yaitu zona vital dan zona
fatal. Vital itu terpilih, sedangkan fatal itu memilih. Keduanya berjala
beriringann sesuai dengan timeline waktunya masing-masing. Apabila dikaitkan
dalam retorika kehidupan manusia, hidup terpilih oleh Tuhan (fatal) dan manusia
diberi kesempatan memilih hidupnya. Dalam zona vital, manusia memiliki
kesempatan untuk selalu berikhtiar dalam setiap perjalanan hidupnya. Sedangkan
dalam zona fatal, manusia diliputi olrh sesuatu hal yang membatasi setiap
perjalanan angan-angan yang diusahakan untuk hidupnya, yakni takdir.
Pada daerah vital, jika diperluas
lagi maka akan ada realita-realita yang sifatnya selalu kontradiksi bagi
pikiran kita. Ide-ide yang muncul hanyalah sebuah persepsi yang juga dicampuri
dengan intuisi seseorang. Seiring berjalannya waktu ia akan melahirkan matematika
yang bersifat konkret/realita. Sedangkan pada daerah fatal, di sanalah terdapat
ide-de yang bersifat idealis, mutlak, absolut, dan berlaku identitas. Segala
ide / pemikiran berasal dari hal-hal yang bersifat rasionalis yang juga masih
dikaitkan dengan intuisi yang dimiliki. Hingga pada tahap tertinggi adalah
transenden. Oleh sebabnya, ide-ide itulah akan memunculkan pemikiran-pemikiran
secara vertikal dan bersifat abstrak/tidak konkret.
Model konkret dapat ditunjukkan
melalui gambar gunung/iceberg. Gunung
disini bisa berarti pengetahuan, pikiran, ilmu, perasaan, keyakinan. Matematika formal/murni merupakan
gunung dari matematika yang dipelajari disekolah dasar dan menengah. Realistik
matematika seperti enaktif, ikonik, dan simbolik. Semakin tinggi aksiomatik
matematika maka semakin membutuhkan kekuatan logika. Sedangkan ada perbedaan
matematika model untuk jenjang SD dan sekolah menengah.
Perjalanan kehidupan dari waktu ke waktu terus
berjalan dan berkembang. Sehingga aku yang sekarang adalah hasil transformasi
dari aku yang dulu. Semuanya berjalan secara bertransformasi setelah memenuhi
syarat ontologis, epistemologis, serta aksiologis. Fenomenologi ada pada
epistemologinya. Ontologis ada pada hakekat, epistemologi terletak pada
metodenya, dan aksiologi merupakan nilai etik dan estetikanya. Hakekat dan
metode saling beriringan artinya tidak ada hakekat tanpa metode dan tidak ada
metode tanpa hakekat. Hakekat dan metode berjalan bersama-sama antara dua
dunia, ideal dan realita. Sehingga akan muncul interaksi antara idealita dan
realita.
Hidup ini adalah sebuah interaksi, realita adalah
sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dirasa, maupun disentuh. Selama hidup,
masalah manusia hanyalah ada dua yaitu menjelaskan apa yang dipikirkan dan
dirasakan, ketika dinaikkan pemikirannya dapat berkaitan dengan kuasa tuhan.
Kita tidak dapat menjelaskan apa yang dipikirkan, mengejar tulisan maupun
ucapan kita sendiri. Pengetahuan menjadi pedoman agar tahu diri. Secara
aksiologis, ketika seorang perempuan ingin menjadi laki-laki maupun perubahan
keyakinan dari muslim menjadi nasrani tidak dapat terpenuhi.
Teorema-teorema yang telah dipelajari, seperti teori
grup merupakan bagian ideal yang berada diatas realitanya. Aljabar dan kalkulus
belum mencapai matematika nonstandard, jadi untuk memahami suatu matematika
model diperlukan transformasi. Perlunya mentransformasikan matematika
aksiomatik yang ada didalam diri menuju ke matematika nonstandard sebab adanya
transenden sebagai batu lompatan. Seperti halnya kita bermatematika, ada
kondisi dimana kita sadar maupun tidak sadar sehingga terjadi lompatan yang
abstrak dikenal sebagai transenden, misalnya suatu ilham. Kita tidak menyadari
bahwa kita termasuk dalam matematika model itu sendiri. Model berangkat dari
sesuatu yang hakekat, alami, dan sangat mendasar. Segala sesuatu yang mendasar
itu ada dua yaitu diintensifkan (diperdalam sedalam-dalamnya) maupun
diekstensifkan (diperluas seluas-luasnya).
Mitos atau mite adalah cerita prosa rakyat yang
menceritakan kisah masa lalu, yang mengandung penafsiran tentang alam semesta
serta keberadaan makhluk di dalamnya, dan dianggap benar-benar terjadi oleh
yang empunya cerita atau penganutnya. Dalam pengertian yang lebih luas, mitos
mengacu kepada cerita tradisional (cerita kuno). Pada umumnya, mitos
menceritakan kejadian alam semesta, dunia dan para makhluk penghuninya, bentuk
topografi, kisah para mahkluk supranatural, dan sebagainya. Mitos bisa muncul
dari catatan peristiwa sejarah yang terlalu dilebih-lebihkan, sehingga
keberadaan mitos dapat mempengaruhi pengalaman manusia sekalipun tidak
berdasarkan logika pemikiran.
Kata logos sangat erat hubungannya dengan penciptaan,
kristologi, soteriologi, dan teologi. Kata logos berasal dari bahasa Yunani
yang berarti sabda, atau "buah pikiran" yang diungkapkan dengan
perkataan, pertimbangan nalar, atau arti. Dalam bahasa Ibrani, berarti hal yang
berada di belakang, yang berarti firman Tuhan, yang dianggap sejajar dengan hikmat,
yaitu perantara (wasilah) Tuhan dengan makhluk ciptaannya. Logos juga bisa dihubungkan dengan logika
karna logika itu sendiri memiliki arti suatu pemikiran yang membuat kita mengetahui
mana yang masuk akal dan mana yang tidak masuk akal. Atau sesuatu yang masuk
akal itu bisa disebut sesuatu yang logis
Hal ini sangat jelas berbeda dengan mitos, karna pada
penjelasan yang telah diuraikan diatas mitos disebut sebagai sesuatu yang tidak
masuk akal, maka logos mempunyai arti yang sebaliknya dari mitos, logos lebih
mengedepankan sesuatu yang logis dan dapat diterima oleh akal.dari uraian
disini maka sangatlah terlihat jelas bahwasanya mitos dan logos merupakan
sesuatu yang sangat berbeda dan bertolak belakang antara satu dengan yang lain.
Secara hakikat pikiran itu ada dua, yaitu mitos dan
logos. Logos berkaitan dengan bekerja, sehingga kita mengetahui apa yang kita
kerjakan. Sepeti halnya ibadah, kita beribadah dengan keadaan di mana kita tahu
dan sadar apa yang kita kerjakan karena adanya kepercayaan dalam diri, bukan
mitos. Sedangkan mitos adalah kita bekerja tapi tidak tahu apa yang kita
kerjakan, misalnya saat kita balita, mengapa kita harus makan kita belum tahu. Hal
ini seperti yang diilustrasikan oleh Marsigit (2013) bahwa anak kecil atau bayi
melakukan aktivitas bukan karena memahami terlebih dulu, melainkan sebaliknya.
Maka dapat dikatakana bahwa bayi atau anak kecil itu belajarnya menggunakan mitos,
percaya saja pada ucapan Ibunya kemudian dilaksanakan. Seandainya kita tarik
dimensi vertikalnya, maka akan banyak sekali pemikiran tanpa dilandasi
pemahaman. Segala pengetahuan kita akan menjadi mitos jika sekiranya dan
sebetulnya kita mampu untuk berikhtiar memahaminya, namun kita enggan
berikhtiar.
Mitos dan logos seiring berjalan dibatasi oleh adanya etik
dan estetika. Unsur-unsur fenomenologi yang terdiri makro dan mikro bahkan
abstrak diterjemahkan secara hermeneutika sehingga fenomena-fenomena tersebut
dapat diabstraksi. Di mana unsur dasarnya dapat berupa: sifat, hubungan,
relasi, transformasi (berasal dari unsur-unsur fenomena) yang berjalan sesuai time-line
nya. Kesemuanya juga dipengaruhi oleh adanya kuasa tuhan, persepsi, pikiran
yang idealisme tanpa mengesampingkan realita dan ciptaan tuhan.
Pikiran itu konsep dan konsep itu di dalam rasio. Di
dalam rasio berlaku hukum identitas, seperti halnya matematika. Dalam
matematika, 5 + 4 = 9, dan akan selalu memiliki jawaban yang sama tanpa
dipengaruhi oleh adanya perubahan runag dan waktu. Sedangkan di dunia realita
bergantung pada objek yang ada, sehingga sangat dipengaruhi oleh adanya ruang
dan waktu. Objek-objek realita memiliki sifat yang kontradiksi dengan apa yang
ada di dalam pikiran, sehingga objek yang ada di dalam pikiran tidak selalu
sama dengan objek yang ada di realita. Di atas konsep ada norm yang jika
diteruskan akan menjadi belief.
Hermeunitika (menciptakan pemahaman terhadap karya dan
tindakan manusia dengan menginterpretasikan sifat-sifat dan arti pentingnya.
Ini berarti dapat memahami perasaan dan maksud orang lain, memahmai makna suatu
peristiwa, menerjemahkan tindakan suatu kelompok tersebut atau mengungkap suatu
makna dari suatu tulisan. Dengan demikian, fenomena-fenomena yang terjadi dalam
timeline hidup memerlukan asas hermeneutika sebagai metode penafsiran
dari fenomena-fenomena yang tercipta. Berasal dari fenomena-fenomena yang ada
di lapangan sebagai fakta, yang juga bersifat dinamis dan terus berkembang,
maka akan menghasilkan teori (grounded theory). Data yang telah
diperoleh dianalisis menjadi fakta, dan dari fakta diinterpretasi menjadi
konsep. Jadi prosesnya adalah data menjadi fakta, dan fakta menjadi konsep.
Selain itu, dalam menggunakan metode penafsiran diperlukan
adanya perlakuan intensif (diperdalam) dan ekstensif (diperluas). Sehingg
fenomena yang terjadi dapat dimaknai secara mendalam dan luas. Peran intuisi
memiliki juga penting untuk mengingat dalam menjabarkan langkah-langkah
selanjutnya. Seperti halnya jika kita ingin menuliskan d = c2 yang
mana kita telah menuliskn dan ingat bahwa a + b = c. Sifat satu dengan sufat
yang lainnya saling melengkapi dalam timeline hidup. Secara keseluruhan,
timeline hidup yang dikemas dalam hermeneutika fenomena menjadi abstraksi
besar dari pemodelan matematika.
D.
Matematika Formal
Formal merupakan suatu
metode dalam menyusun penalaran yang logis, konsisten, terstruktur, koheren,
analitik dan ideal. Dalam hal ini logika merupakan hal yang fundamental dalam
memahami metode formal. Logika (Beth, 1962) merupakan teori deduktif inferensial
yang berkaitan erat dengan konsep himpunan, premis dan modus Ponens. Dalam
membangun konstruksi logika, perlu ditetapkan (F) formula-formula (U, V, W, ...)
yang merupakan terdiri dari atom-atom (A, B, C, ...) pada suatu himpunan (K).
Dengan ketetapan inilah, melalui penerapan modus Ponens, metode Formal
dikembangkan hingga diperoleh kesimpulan (Z). Beth (1962) menjelaskan bahwa
terdapat tiga konsepsi logika sebagai suatu teori deduksi inferensial, yaitu
teori deduksi murni (formalis), semantik, dan aksiomatik. Ketiganya memiliki
keterkaitan satu sama lain. Sehingga untuk dapat memahami dan mengembangkan
logika secara lengkap dan mudah, kita harus mempelajari ketiganya.
Menurut Ernest, teori dari paham formalisme terdiri dari
dua klaim yaitu (1) matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang
tidak ditafsirkan (kosong dari arti), di mana kebenaran matematika diwakili
oleh teorema formal. (2) Dan keamanan sistem formal (bebas dari berbagai macam
kontradiksi dan paradoks) ini dapat ditunjukkan dalam hal kebebasan mereka dari
tidak konsisten nan (ketidakserasian), dengan menggunakan meta-matematika.
Ernest menganalogikan bahwa formalisme adalah pandangan bahwa matematika adalah
permainan formal tanpa arti yang dimainkan dengan coretan di atas kertas dengan mengikuti aturan yang telah ada.
Matematika juga dapat direduksi hanya menjadi sebuah permainan intelektual,
layaknya catur. Menurut aliran formalisme, matematika sekedar rekayasa simbol
berdasarkan aturan tertentu untuk menghasilkan sebuah sistem pernyataan
tautologis, yang memiliki konsistensi internal, tetapi kosong dari makna.
Dalam aliran formalisme, kebenaran matematika adalah
kebenaran menurut definisi atau persyaratan yang menentukan makna dari
term-term kunci. Persyaratan ini memberikan ciri khas bahwa kebenaran
matematika tidak memerlukan bukti empiris. Kebenaran matematika semata-mata
dapat ditunjukkan dengan menganalisis makna yang terkandung dalam term-term di
dalamnya, yang di dalam logika disebut sebagai benar secara apriori yang
mengindikasikan bahwa nilai kebenarannya bebas secara logis dari sebarang bukti
eksperimental. Aliran formalisme menganjurkan pendekatan murni abstrak,
berangkat dari prinsip awal, dan mendeduksi segalanya dari prinsip awal
tersebut. Karya yang dihasilkannya sama sekali tidak mempunyai (dan memang
tidak perlu mempunyai) hubungan dengan ilmu pengetahuan dan dunia nyata.
Gambaran secara sederhananya adalah ketika dalil pytagoras tidak sesuai dengan
pengukuran dalam dunia nyata, maka yang salah bukanlah matematikanya (dalil
pytagorasnya) melainkan karena keterbatasan indra kita dalam melakukan perhitungan
dan sejatinya bangun dua dimensi adalah abstrak (tidak ada dalam dunia nyata).
Sejalan dengan hal ini, Einstein memberikan pandangannya (Suriasumantri, 2005),
”Sepanjang hukum-hukum matematika mengacu pada realita, hukum-hukum itu tidak
pasti; dan sepanjang hukum-hukum itu pasti, mereka tidak mengacu pada realita.
Dalam pandangan aliran formalisme ini kebenaran
matematika adalah kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat, tidak dapat
direvisi, mutlak benar dan pasti yang didasarkan pada deduksi murni, yang
merupakan satu-satunya metode pembuktian dalam matematika bahwa
proposisi-proposisi itu pasti benar asalkan postulat (aksioma) yang
mendasarinya itu benar. Hal ini juga yang mengakibatkan aliran formalisme
termasuk dalam aliran absolutisme matematika.
Jejak filsafat formalisme matematika dapat ditemukan
dalam tulisan-tulisan Uskup Berkeley, tetapi pendukung utama formalisme adalah
David Hilbert (1925), diteruskan oleh J. Von Neumann (1931) dan H.Curry (1951).
Program formalis Hilbert bertujuan untuk menerjemahkan matematika ke dalam
sistem formal yang tidak ditafsirkan. Dengan menggunakan metamathematics yang
terbatas tetapi bermakna, sistem formal harus terbukti memadai untuk
matematika, dengan menurunkan rekan-rekan formal dari semua kebenaran matematika,
dan aman untuk matematika, melalui bukti-bukti konsistensi. Aliran Formalisme
banyak dianut oleh matematikawan Amerika akibat pengaruh Oswald Veblen dan V.E.
Huntington. Aliran ini sering disebut aliran postulatsional atau aliran
aksiomatik dan dalam pendidikan matematika melahirkan jenis matematika yang
disebut matematika modern (New Math)
seperti yang sekarang diberikan di sekolah-sekolah dan perkuliahan.
E.
Perkembangan Matematika
1.
Zaman Mesir dan Yunani Kuno
Penemuan matematika pada jaman Mesopotamia
dan Mesir Kuno, didasarkan pada banyak dokumen asli yang masih ada ditulis oleh
juru tulis. Selain itu, matematika pada jaman Mesir Kuno dapat dipelajari dari
artefak yang ditemukan yang kemudian disebut sebagai Papyrus Rhind yang mana
berkaitan dengan kerajaan yaitu mulai dari zaman Babylonia (2000 SM) dan terus
berkembang hingga saat ini.
Sejak zaman Yunani Kuno setidaknya telah
ada matematikawan penting yaitu Thales dan Pythagoras yang mana mereka mempelopori
pemikiran dalam bidang Geometri. Pythagoras yang memulai melakukan atau membuat
bukti-bukti matematika dengan mengkonstruk bangun persegi dan segitiga sebagai
penemuan teoremanya. Namun, Teorema Pythagoras ini telah dulu ditemukan pada
saat geometri dan aljabar kuno yaitu mereka mencoba mencari hubungan antara
panjang sisi-sisi persegi panjang yang kemudian mereka menemukan bentuk segitiga
siku-siku. Para pengikut Pythagoras berusaha untuk menemukan secara pasti panjang
sisi miring suatu segitiga siku-siku. Namun, mereka tidak dapat menemukan angka
yang tertentu dengan skala yang sama yang berlaku untuk semua sisi-sisi
segitiga tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan persoalan incommensurability, yaitu adanya skala
yang tidak sama agar diperoleh bilangan yang tertentu untuk sisi miringnya.
Jika dipaksakan digunakan skala yang sama (commensurabel)
maka pada akhirnya mereka menemukan bahwa panjang sisi miring bukanlah bilangan
bulat melainkan bilangan irrasional.
Selain
itu, pada zamannya tersebut, logika
formal bermula dari silogisme Aristoteles yang beliau kemukakan dalam Prior
Analytics (Aristote dalam Guerrier, 2008). Aristotle, dalam bukunya On Interpretation
(Aristote dalam Guerrier, 2008), mengekstrak pernyataan formal dari bahasa yang
umum, lalu memberikan suatu bentuk standar dalam mengkuantifikasi pernyataan
dan memperjelas perbedaan antara kontradiksi (dimana dua nilai kebenaran yang
berbeda dihadapkan,misal setiap A adalah B atau beberapa A tidak B) dan
contrariety (oposisi yang lebih radikal yang memberikan kemungkinan kedua
pernyataan bernilai salah, misal setiap A adalah B atau tidak ada A yang B).
Kemudian dalam the Prior Analytics, Aristotle menawarkan suatu definisi yang
akurat tentang silogisme, yang bernama pernyataan kondisional dengan dua premis
dan sebuah kesimpulan (semuanya merupakan pernyataan terkuantifikasi) yang
mematuhi seperangkat aturan yang presisi. Contohnya, “Jika beberapa dari A
adalah B dan setiap B adalah C, maka beberapa dari A merupakan C” (1), atau
“jika setiap A adalah B dan beberapa B adalah C, maka beberapa A adalah C (2).
Berdasarkan definisi tersebut, Aristoteles kemudian mengelompokkan silogisme
menjadi dua kategori: yang mengarah dari kebenaran kepada kebenaran sebagaimana
interpretasi A, B dan C pada contoh (1), dan yang mungkin memiliki premis yang
bernilai benar dan konklusi yang bernilai salah sebagaimana pada contoh (2).
Aristoteles pertama-tama menyatakan bahwa beberapa silogisme jelas
kevalidannya, artinya setiap orang akan sepakat dengan fakta yang
mempertahankan kebenarannya. Silogisme pertama yang paling terkenal adalah
“Jika setiap A adalah B dan setiap B adalah C, maka setiap A adalah C.”
Kemudian beliau memberikan beberapa konversi aturan yang tetap menjamin
kevalidan silogisme seperti mengganti “beberapa A adalah B” dengan “Beberapa B
adalah A” dimana keduanya jelas ekivalen (sinonim). Sehingga Aristotels dapat
membuktikan lewat sintaks bahwa beberapa silogisme valid secara logis. Selain
itu, untuk setiap silogisme yang dapat disusun dalam sistemnya, dapat beliau
buktikan secara sintaksis bahwa hal tersebut valid atau memberikan bukan contoh
untuk menunjukkan bahwa hal tersebut tidaklah valid. Dengan menggunakan cara ini,
Aristoteles menggunakan proses sintaks dan semantik. Konsekuensinya, beliau
membedakan antara kebenaran pada sebuah interpretasi dengan validitas logis.
Aristoteles menilai kebenaran sebagai suatu kebutuhan ketika hal tersebut
merupakan konklusi dari silogisme yang valid dengan premis yang bernilai benar.
Dan membedakannya dengan kebenaran faktual, atau kebenaran yang diperoleh hanya
sebagai konsekuensi dari kebenaran lainnya. Meskipun sistem logika formal
Aristoteles jelas belum cukup dalam penalaran Matematika, namun ia telah
mengembangkan konsep mendasar dari logika yang penting dalam dunia logika
modern saat ini, khususnya interpretasi semantik dan turunan formalnya.
Sementara, orang-orang Babilonia memprediksi
suatu kejadian dengan mengaitkan dengan fenomena perbintangan, seperti gerhana
bulan dan titik kritis dalam siklus planet menggunakan sistem bilangan
sexagesimal hingga memberi perkembangan pada bidang aritmatika. Dalam tulisan
Marsigit, perkembangan matematika pada zaman Mesir Kuno juga mendapat pengaruh
dari Babilonia. Dari salah satu bencana
banjir bandang yang menyebabkan tanah tertimbun hingga beberapa meter, muncullah
gagasan atau ide tentang luas daerah, batas-batas dan bentuk-bentuknya yang
terkait dengan geometri.
Prestasi
bangsa Yunani Kuno yang monumental adalah adanya karya Euclides tentang
Geometri Aksiomatis. Sumber utama untuk merekonstruksi pra-Euclidean buku karya
Euclides bernama Elemen (unsur-unsur), di mana sebagian besar isinya masih
relevan dan digunakan hingga saat kini. Element terdiri dari 13 jilid. Buku I
berkaitan dengan kongruensi segitiga, sifat-sifat garis paralel, dan hubungan
daerah dari segitiga dan jajaran genjang; Buku II menetapkan kehimpunanaraan
yang berhubungan dengan kotak, persegi panjang, dan segitiga; Buku III berisi
sifat-sifat Lingkaran; dan Buku IV berisi tentang poligon dalam lingkaran.
Sebagian besar isi dari Buku I-III adalah karya-karya Hippocrates, dan isi dari
Buku IV dapat dikaitkan dengan Pythagoras, sehingga dapat dipahami bahwa buku
Elemen ini memiliki sejarahnya hingga berabad-abad sebelumnya. Buku V
menguraikan sebuah teori umum proporsi, yaitu sebuah teori yang tidak
memerlukan pembatasan untuk besaran sepadan. Ini teori umum berasal dari
Eudoxus. Berdasarkan teori, Buku VI menggambarkan sifat bujursangkar dan
generalisasi dari teori kongruensi pada Buku I.
Buku VII-IX berisi tentang apa yang oleh orang-orang Yunani disebut
"aritmatika," teori bilangan bulat. Ini mencakup sifat-sifat proporsi
numerik, pembagi terbesar, kelipatan umum, dan bilangan prima(Buku VII);
proposisi pada progresi numerik dan persegi (Buku VIII), dan hasil khusus,
seperti faktorisasi bilangan prima yang unik ke dalam, keberadaan yang tidak
terbatas jumlah bilangan prima, dan pembentukan "sempurna" angka,
yaitu angka-angka yang sama dengan jumlah pembagi (Buku IX). Dalam beberapa
bentuk, Buku VII berasal dari Theaetetus dan Buku VIII dari Archytas. Buku X
menyajikan teori garis irasional dan berasal dari karya Theaetetus dan Eudoxus.
Buku Xiberisi tentang bangun ruang; Buku XII membuktikan theorems pada rasio lingkaran,
rasio bola, dan volume piramida dan kerucut.
2. Matematika di Eropa dan Kontribusi Hilbert
Matematika terus dikembangkan oleh para filsuf mulai
dari tempat satu menuju tempat lain hingga muncullah perkembangan matematika di
India yang masih erat kaitannya dengan perkembangan matematika islam. Kemudian,
dikembangkan secara menyebar ke daerah Eropa hingga dikenal dengan matematika
modern hingga abad ke 15. Penemuan alat
cetak mencetak pada jaman modern, yaitu sekitar abad ke 16, telah memungkinkan para
matematikawan satu dengan yang lainnya melakukan komunikasi secara lebih
intensif, sehingga mampu menerbitkan karya-karya hebat. Hingga sampailah pada
jamannya Hilbert yang berusaha untuk menciptakan matematika sebagai suatu
sistem yang tunggal, lengkap dan konsisten. Namun usaha Hilbert kemudian dapat
dipatahkan atau ditemukan kesalahannya oleh muridnya sendiri yang bernama Godel
yang menyatakan bahwa tidaklah mungkin diciptakan matematika yang tunggal,
lengkap dan konsisten (teorema ketaklengkapan Godel).
3. Perkembangan Matematika Mulai Abad ke- 17
Peningkatan pesat dari matematika di abad ke-17
didasarkan sebagian pada pembaharuan terhadap matematika kuno dan matematika
pada jaman Yunani. Mekanika dari Galileo dan perhitungan-perhitungan yang
dibuat Kepler dan Cavalieri, merupakan inspirasi langsung bagi Archimedes.
Studi tentang geometri yang dilakukan oleh Apollonius dan Pappus dirangsang
oleh pendekatan baru dalam geometri-misalnya, analitik yang dikembangkan oleh
Descartes dan teori proyektif dari Desargues Girard.
Kebangkitan matematika pada abad 17 sejalan dengan kebangkitan
pemikiran para filsuf sebagai anti tesis abad gelap dimana kebenaran didominasi
oleh Gereja. Copernicus merupakan tokoh pendobrak yang menantang pandangan
Gereja bahwa bumi sebagai pusat jagat raya; dan sebagai gantinya dia
mengutarakan ide bahwa bukanlah Bumi melainkan Mataharilah yang merupakan pusat
tata surya, sedangkan Bumi mengelilinginya. Jaman kebangkitan ini kemudian
dikenal sebagai Jaman Modern, yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh
pemikir filsafat sekaligus matematikawan seperti Immanuel Kant, Rene Descartes,
David Hume, Galileo, Kepler, Cavalieri, dst.
Meskipun logika telah
menjadi pusat penelitian para filsuf dan ilmuwan, perkembangan yang spektakuler
hanya dirasakan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Frege dan Russell
merupakan sosok utama dalam masa kebangkitan ini. Revolusi yang diperkenalkan
oleh Frege meliputi elaborasi terhadap bahasa simbolik, memperkayanya
menggunakan bahasa Matematika, dan menerjemahkannya dalam operasi logika
(penghubung and kuantor). Dalam tulisannya (Frege dalam Guerrier, 2008), Frege
mengekspos proyeknya dalam memperbarui logika agar menghasilkan penalaran
matematika yang akurat secara sempurna. Frege berpendapat bahwa bahasa umum
tidak dapat mencapai tingkatan akurat (rigor). Frege meyakini bahwa dalam
konteks umum pengalaman kita mungkin cukup untuk menghindari banyak kesalahan.
Namun hal tersebut tidak berlaku pada kasus yang lebih kompleks seperti
Matematika. Selain itu, logika yang dinyatakan dalam bahasa umum tidak cukup
untuk menjamin bahwa rantai inferensi tidak terdapat gap/pemisah. Ideografi
Frege mampu mengungkap struktur matematika yang terdalam melalui formalisasi
perbedaan antar pernyataan tunggal dan umum, dan dengan menunjukkan cakupan
generalisasinya dalam hubungan seperti negasi dan implikasi. Hal ini merupakan
suatu yang penting dalam menyelesaikan ambiguitas yang terjadi pada bahasa
umum.
Kemerling, G. 2002, menjelaskan bahwa titik puncak dari pendekatan
baru untuk logika terletak pada kapasitasnya untuk menerangi sifat penalaran
matematika, sedangkan kaum idealis berusaha untuk mengungkapkan hubungan
internal dari realitas absolut dan pragmatis ditawarkan untuk memperhitungkan
manusia Permintaan sebagai pola longgar investigasi, ahli logika baru berharap
untuk menunjukkan bahwa hubungan paling signifikan antara dapat dipahami
sebagai murni formal dan eksternal. Kemerling mencatat bahwa matematikawan seperti
Richard Dedekind menyadari bahwa atas dasar ini dimungkinkan untuk membangun
matematika tegas dengan alasan logis, sedangkan Giuseppe Peano telah
menunjukkan pada 1889 bahwa semua aritmatika dapat dikurangi ke sistem
aksiomatis dengan hati-hati dibatasi himpunan awal mendalilkan . Pada sisi
lain, Frege segera berusaha untuk mengekspresikan mendalilkan dalam notasi
simbolik temuannya sendiri, dan dengan 1913, Russell dan Whitehead telah
menyelesaikanmonumental Principia Mathematica (1913), dengan tiga volume besar
untuk bergerak dari sebuah aksioma logis saja melalui definisi nomor bukti
bahwa "1 + 1 = 2." Kemerling menyatakan bahwa meskipun karya Gödel
dibuat menghapus keterbatasan dari pendekatan ini, signifikansi bagi pemahaman
kita tentang logika dan matematika tetap undimmed.
a.
Kontribusi Frege
Salah satu aspek yang
penting dari kontribusi Frege adalah definisi dari implikasi dan negasi (Frege dalam
Guerrier, 2008). Beliau mendefinisikan hubungan suatu implikasi “Jika A, maka
B” ekivalen dengan “negasi (negasi A dan B)”, dimana hanya bernilai salah jika anteseden bernilai
benar dan konsekuen bernilai salah. Frege menolak keberatan terhadap definisi
ini dengan argumen bahwa tidak hanya karena alasan logika sehingga definisi harus
bebas dari bahasa umum, tetapi juga tuntutan untuk menyusun jarak yang nyata
dari bahasa umum. Sehingga ideografi Frege menampilkan definisi yang murni dari
bahasa umum. Definisi yang dikemukakan Frege mirip dengan ‘‘material
implikasi’’ yang didefinisikan oleh Russell (dalam Guerrier, 2008), bahwa pasti
terdapat hubungan logis antara dua proposisi ketika antesedennya bernilai salah
atau konsekuennya bernilai benar. Russell meyakini bahwa konsep alamiah dari
implikasi adalah kondisi umum yang menegaskan bahwa setiap materi implikasi
(ketentuan proposional) dalam suatu himpunan adalah bernilai benar.
Kebanyakan, aturan
inferensi klasik yang berasosiasi dengan tautologi, sistem Wittgenstein dikenal
sebagai ‘‘theory of valid inference.’’
Teori ini dipopulerkan oleh Quine, yang menyatakan bahwa inferensi tidak lain
adalah implikasi (Quine dalam Guerrier, 2008). Sehingga, apa yang muncul dari
Tractatus merupakan sistem formal yang bertujuan untuk menyediakan deskripsi
fakta yang memadai. Dalam tulisannya tentang proposisi kalkulus, Wittgenstein dengan
brilian mengatasi ketegangan antara formalisme dan deskripsi dunia. Tetapi
ketika menghadapi logika kuantor, pertanyaan ini jarang dieksplor. Beberapa
tahun kemudian, Tarski, berhasil menyelesaiakan logika kuantor dan meraih apa
yang Wittgenstein peroleh pada proposisi logis.
b.
Kontribusi Tarski
Tarski (dalam Guerrier,
2008) dalam tulisannya yang berjudul “The
concept of truth in languages of deductive sciences” menunjukkan bahwa
tujuannya adalah menyusun definisi dari proposisi kebenaran yang memadai secara
materi dan tepat secara formal. Proyek Tarski adalah menjembatani secara nyata
antara sistem formal dan realita. Pada tahun 1944 dia mengemukakan kembali
konsep kebenaran klasik milik Aristoteles dalam bahasa yang modern melalui
definisi berikut: “‘the truth of a proposition lies in its agreement (or
correspondence) with reality; or a proposition is true if it designates an
existent state of things.’’ Kebenaran proposisi terletak pada kesepakatan (atau
korespondensi) dengan realita, atau suatu proposisi bernilai benar jika ia
membentuk status keberadaan sesuatu. Untuk mengelaborasi konstruksi rekursif
dari kebenaran suatu proposisi, Tarski mengenalkan konsep yang lebih umum
tentang ‘‘satisfaction of a propositional function (a predicate) by such or such
objects, kesesuaian fungsi proposisi objek’’ kepada fakta bahwa ‘‘complex
propositions are not aggregates of propositions, but obtained from
propositional functions. Proposisi kompleks tidak beragregasi, tetapi diperoleh
dari fungsi proposisi’’ Definisi ini menegaskan fakta bahwa status kebenaran
dari sebuah fungsi proposisi mesti berlaku di dunia realita. Hal ini
memungkinkan bagi kita untuk mengonstruk kriteria kesesuaian suatu formula yang
kompleks terhadap predikat kalkulus pada struktur manapun secara rekursif
dengan menggunakan intepretasi terhadap tiap huruf pada formula. Sehingga dapat
didefinisikan ungkapan tentang “model for a formula”, yang mengatur suatu
struktur interpretasi dari suatu formula yang memenuhi setiap rangkaian objek
yang relevan. Hal ini menjadi jalan bagi Tarski dalam mendefinisikan notion
yang fundamental tentang “konsekuensi logis dalam sudut pandang semantik”:
suatu formula G menyesuaikan dari suatu formula F secara logis jika dan hanya jika setiap model dari F
merupakan model bagi G. Hal ini bermakna bahwa formula “
adalah benar untuk setiap
intepretasi terhadap F dan G pada setiap struktur tak kosong. Contohnya, dalam
konteks semantik, “Q(x)” merupakan konsekuensi logis dari “
Perhatikan bahwa ini
merupakan ekstensi dari hasil korespondensi yang dihasilkan oleh Wittgenstein,
dalam pemahaman bahwa “Q(x)” dan “
bukan merupakan variabel
proposisi, tapi fungsi proposisi. Sehingga tidak mungkin untuk menggunakan
tabel kebenaran secara langsung.
Model pendekatan
teoritik dikembangkan oleh Tarski dalam bukunya Introduction to logic and to
the methodology of the deductive sciences. Diketahui suatu teori deduktif yang
memungkinkan memahami suatu sistem aksiomatik sebagai bahasa formal dan
mengintepretasikan kembali sistem dengan interpretasi yang lain. Interpretasi
dimana suatu aksioma bernilai benar disebut dengan model sistem aksiomatik. Pendekatan
ini (Beth, 1962) menjadikan tak berhingga banyaknya formula sebagai aksioma,
yang diperoleh dari beberapa aksioma tertentu yang digunakan berulang-ulang
pada aturan inferensial. Aksioma-aksioma tersebut dinamakan tesis. Beberapa
karakter tesis yang mendasar antara lain,
(I)

(II)

(III)

Dari tesis-tesis tersebut dikembangkan
menggunakan skema inferensial dan modus Ponens sehingga diperoleh berbagai
teorema. Misalnya akan dibuktikan bahwa
juga merupakan tesis.
Dari karakter aksioma I maka dapat disusun implikasi berupa (1) (
. Sedangkan dari karakter aksioma II dapat disusun implikasi (2)
. Dari (1) dan (2) dengan skema (iij) maka diperoleh (
Hal tersebut memberikan beberapa hasil yang penting: “Semua
teorema dibuktikan dari suatu sistem aksiomatik yang valid untuk setiap
interpretasi sistem”.
Teorema tersebut
menunjukkan hubungan antara semantik dan sintak sekaligus mengarahkan kita
kepada metode yang penting dalam pembuktian bahwa suatu pernyataaan bukan
merupakan konsekuensi logis dari teori aksioma. Dengan begitu, Tarski telah
memberikan perbedaan yang jelas antara kebenaran dalam suatu interpretasi dan
kebenaran sebagai konsekuensi logis dari suatu sistem aksiomatik. Dibandingkan
dengan kedua metode sebelumnya, metode aksiomatik memiliki perbedaan yang cuku
jelas. Beth (1962) menjelaskan bahwa pendekatan
aksiomatik tidak melibatkan analisis keterkaitan antara himpunan K yang memuat
premis-premis U dengan himpunan L yang memuat konklusi-konklusi V. Melainkan
menetapkan status istimewa terhadap suatu kumpulan formula yang disebut tesis.
Tesis ini identik dengan tautologi. Namun keterkaitan dua teori sebelumnya
dengan teori aksiomatik akan ditunjukkan dalam teorema-teorema. Misal pada
teorema 9 (Beth, 1962), Setiap tesis adalah identitas logis. Dengan membangun
tabel semantik yang cocok, kami pertama kali menunjukkan bahwa setiap aplikasi
dari aksioma-schemata (I)-(III) adalah identitas logis. Kedua, akan dibuktikan
bahwa jika kedua U dan
yang logis
identitas, maka demikian juga V. Jadi misalkan bahwa di bawah valuasi tertentu
w identitas, maka demikian juga V. Jadi misalkan di bawah valuasi tertentu w
kami memiliki
. Dengan U adalah logicalidentity, kita memiliki
. Dengan aturan (S1), berikut bahwa w
. Tapi ini bertentangan anggapan kami menurut yang
adalah
identitas logis. Akhirnya, jika U menjadi tesis yang bebas. Maka harus ada
batas tertentu untuk urutan formula (
, yang merupakan bukti U sebagai tesis. Jika
, atau U, bukan identitas logis, maka baik itu adalah
satu-satunya rumus di urutan yang tidak identitas logis atau yang lain itu
didahului oleh formula lain dalam urutan yang juga tidak identitas logis. Akan
ada formula
pertama dalam
urutan
yang bukan merupakan identitas logis. Sekarang baik
adalah sebuah
aplikasi dari salah satu skema aksioma (I) - (IIII) atau dapat juga ditemukan m
dan n (l <m, n <j) sehingga
adalah
Namun, karena
bukan
identitas logis, tidak dapat menjadi aplikasi skema aksioma dengan pengamatan
pertama. Di sisi lain, karena
dan
mendahului
, maka identitas logis. Tapi dengan kedua kami
komentar, jika
adalah
adalah
identitas logis, maka
harus juga menjadi identitas logis. Hal berikut bahwa
ada formula
seperti yang
dijelaskan dapat ditemukan. Oleh karena itu
, atau U, harus menjadi identitas logis.
Implikasi
hanyalah satu dari sekian hubungan-hubungan antar struktur yang dideduksi
menggunakan ketiga pendekatan tersebut. Yang lainnya adalah disjungsi,
konjungsi, dan negasi. Penjelasan tentang ketiga hubungan tersebut secara
otomatis mengubah ketetapan-ketetapan sebelumnya yang hanya memuat hubungan
implikasi. Selain itu, rangkaian yang disusun menggunakan hubungan-hubungan
tersebut juga memiliki keterkaitan. Misalnya U
V yang dapat didefinisikan sebagai (U → V) → V (Beth, 1962). Dengan hubungan-hubungan
tersebut, maka teorema-teorema yang dapat dibangun semakin beragam. Misalnya Teorema
15 (Beth, 1962). Jika formula memuat implikasi dan negasi, dan jika ditambahkan
skema aksioma (IX) dan (X) pada skema aksioma (I)-(III), maka Teorema 5-14
tetap valid. Kita tidak mengalami kendala dalam mengekstensika (pernyataan dan)
pembuktian Teorema 8. Seperti Teorema 7, kita dua kali membandingkan dua
fragmen khas dari tablo semantik
untuk formula Z yang mewakili rangkaian
K/L. Seperti pada (2), diamati bahwa aplikasi skema (v) dapat digantikan oleh
aplikasi skema (i) dan (ij), asalkan ditambahkan rumus yang cocok
dan
pada antecendent. Misalkan U1,
U2, ..., Um menjadi semua rumus yang
ditambahkan dengan cara ini. Kemudian, secara jelas tableau semantik untuk urutan
yang dibangun di bawah
skema (i), (ij), dan (v) akan tertutup, jika dan hanya jika tableau semantik untuk urutan (U1, U2, ..., Um)/Z yang dibangun di bawah skema (i) dan
(ij) saja juga tertutup. Dalam pembangunan kedua, rumus U’ dan U’’ berperilaku
seperti atom dan karenanya tableau
kedua dapat dianggap sebagai formal deduksi dalam logika implikasional murni.
Kemudian berdasarkan Teorema 7 (dalam bentuk aslinya), rumus:
adalah tesis logika implikasional murni
implicationallogic. Karena U1,
U2, ..., Um adalah aplikasi dari
aksioma-skema (IX) dan (X), dibuktikan dengan modus ponen bahwa rumus Z adalah tesis logika sentensial dalam
implikasi dan negasi. Teorema 7 dan 8 yang sekarang ini ditetapkan untuk versi
yang besar dari logika sentensial, pembahasan teorema sisa menyajikan tidak ada
kesulitan. Teorema 15 mengungkapkan kelengkapan teori deduksi logika sentensial
dalam implikasi dan negasi. Sekarang harus dinyatakan dan dibuktikan teorema
lain yang menyatakan kelengkapan teori definisi (atau kelengkapan fungsional)
dari versi logika sentensial dan juga dijelaskan mengapa versi ini lebih
penting daripada, logika sentensial pada implikasi dan konjungsi.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya, logika
yang terkuantifikasi merupakan ekstensi dari proposisi logis, di mana hal
tersebut merupakan jantung dari penalaran matematis. Dalam pembahasan
kuantifikasi, formula memiliki variabel individu, pramater individu, dan
melibatkan kuantifikasi seperti “semua” dan “ada”. Sehingga kebenaran dan
deduksi menjadi lebih detail dan kompleks.
Pembahasan kuantifikasi juga berakibat pada penyesuaian terhadap notasi
dan ketetapan yang telah dibuat sebelumnya. Sehingga dikenalkan predikat biner
yakni kesamaan. Notion ini digunakan untuk menjelaskan aksioma dari dua
kelompok, dengan melihat hubungan kesamaan dari parameter-parameternya. Selain
itu, dikenalkan suatu fungsi yang merujuk pada parameter-parameter suatu
predikat untuk memudahkan deduksi pada teorema-teorema berikutnya. Sebagaimana
pada teorema 25 (Beth, 1962) misalkan formula (x)(y)(Ez)(t){V(x, y, t)
z = t} dapat
ditarik kesimpulan dari himpunan K, misal f merupakan fungsi parameter yang
tidak muncul dalam K, misal K0 diperoleh dengan menambahkan K formula
dan misal Z menjadi formula di mana
parameter f tidak muncul. Kemudian Z akan dapat ditarik kesimpulan dari K0
jika dan hanya jika dapat ditarik kesimpulan dari K. Secara khusus, K0
akan konsisten secara formal jika dan hanya jika K secara formal konsisten. Beberapa
penjelasan dari Teorema 25 adalah formula (x)(y)(Ez)(t){V (x, y, t)
z = t}
mengungkapkan fakta bahwa ada, untuk setiap x dan y, tepat satu z yang, diambil
sebagai nilai t, memenuhi ketentuan V(x, y, t). Kami biasanya mengungkapkan
fakta ini dengan mengatakan bahwa z adalah fungsi dari x dan y dan itu adalah
praktek saat ini untuk menunjukkan ini lebih eksplisit dengan memperkenalkan
simbol fungsi f baru dan dengan menulis f (x, y) bukan z; rumus (x) (y) (t) [V
(x, y, t)
f(x, y) = t]
diambil untuk menentukan fungsi f. Teorema 25 membuat jelas bahwa praktek ini
dapat dibuat karena tidak menghasilkan kontradiksi dan sejauh formula dalam
notasi asli (tanpa f) yang bersangkutan, tidak ada teorema baru.
c.
Kontribusi Godel (Godel
Number)
Selanjutnya,
setelah dilengkapi oleh kuantifikasi dan fungsi, teori deduksi dapat dibawa
kepada formalisasi aritmatika. Dalam hal ini melibatkan bilangan asli beserta
operasi-operasi biner seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian,
hingga eskponensial. Pada pembahasan ini sintaks dan semantik semakin
mengerucut pada Matematika, yakni menyusun konsistensi dan koheren dari
Matematika formal. Dalam rangka untuk membuat hubungan antara implikasi logika
murni dan aritmatika (Beth, 1962), dikaitkan dengan setiap formula atau angka
natural g(U), yang disebut Godel
number dan ditentukan oleh berikut ini:
(G1) Godel
number dari atoms A, B, C, ...
masing-masing,
(G2)
Pengenalan Godel number memungkinkan
kita untuk menyatakan sebagai berikut varian aritmatika dengan ketentuan
(F3") dalam bagian 1: Angka natural g
adalah Godel number dari formula implikasi logika murni jika dan
hanya jika ada urutan bilangan terbatas gl, g2, ..., gk
seperti itu, untuk setiap j (1 <j
<k), lebih baik adalah angka natural h
sehingga gj = ke 7 atau dapat ditemukan bilangan natural m dan n
(l<m,
n <j) sehingga gj
=
, sedangkan gk = g.
d.
Kontribusi Gottfried Wilhem
Leibniz dan Ketalengkapan Godel Kedua
Gottfried Wilhem
Leibniz, sering dikenal dengan panggilan Leibnitz adalah seorang filsuf Jerman keturunan Sorbia
dan berasal dari Sachsen. Leibniz tidak puas dengan sistem (filsafat)
Aristoteles dan berusaha mengembangkan ide-idenya. Tahun 1661 (umur 15 tahun), dia
masuk universitas Leipzig jurusan hukum hukum. Ternyata selama kuliah, waktunya
justru lebih banyak digunakan untuk membaca buku-buku filsafat, meski akhirnya
dia lulus di tahun 1663 sebelum pergi ke Jena. Di Jena, di bawah bimbingan
matematikawan sekaligus filsuf terkemuka, yaitu Erhard Weigel, dia mulai
memahami pentingnya pembuktian matematika terhadap logika dan filsafat,lebih
khusus membedah pemikira Pythagoras. Weigel percaya bahwa bilangan adalah
konsep paling dasar dari alam semesta dan ide-ide ini memberi pengaruh sangat
mendalam bagi Leibniz. Leibnez memamerkan hasil-hasil penemuannya. Salah satu
yang disebutkan adalah mesin penghitung yang dikatakannya jauh lebih hebat
dibanding buatan Pascal, yang
hanya dapat menangani tambah dan kurang; sedangkan mesin buatan Leibniz dapat
menangani perkalian, pembagian dan menghitung akar bilangan.
Leibniz yang mendukung
filosofi bahwa “any view applying to
reason is a source of knowledge or justification” mengembangkan
prinsip dasar kalkulus. Hasil kerja mereka kemudian memberikan pengaruh yang
kuat terhadap perkembangan ilmu hitung baik matematika maupun fisika. Aplikasi
kalkulus diferensial meliputi perhitungan kecepatan dan percepatan, kemiringan
suatu kurva, dan optimalisasi. Aplikasi dari kalkulus integral meliputi
perhitungan luas, volume, panjang busur, pusat massa, kerja, dan tekanan.
Aplikasi lebih jauh meliputi deret pangkat dan deret Fourier. Selama
berabad-abad, para matematikawan dan filsuf berusaha memecahkan paradoks yang
meliputi pembagian bilangan dengan nol ataupun jumlah dari deret tak terhingga.
Seorang filsuf Yunani kuno memberikan beberapa contoh terkenal seperti paradoks
Zeno. Kalkulus akhirnya memberikan solusi, terutama di bidang limit dan deret
tak terhingga, yang kemudian berhasil memecahkan paradoks tersebut.
Semua pernyataan matematika,
bahkan kontradiksi yang dapat diturunkan dari aksioma-aksioma teori mengatur sebagai
konsekuensi dari teorema menjadi pertanyaan kemungkinan dari teorema
ketidaklengkapan Gödel kedua. Selanjutnya, dalam tulisannya, Masigit menjelaskan
bahwa dalam realisme matematika, kadang-kadang disebut Platonisme, keberadaan
dunia objek matematika independen dari manusia ini mendalilkan; kebenaran tentang
obyek ditemukan oleh manusia, dalam pandangan ini, hukum alam dan hukum-hukum
matematika memiliki status yang sama, dan "efektivitas" berhenti
menjadi "masuk akal" dan tidak aksioma kita, tetapi dunia yang sangat
nyata dari objek matematika membentuk yayasan. Ia menjelaskan bahwa pertanyaan
yang jelas, kemudian, adalah: bagaimana kita mengakses dunia ini, beberapa
teori modern dalam filsafat matematika menyangkal keberadaan yayasan dalam arti
asli; beberapa teori cenderung berfokus pada praktek matematika, dan bertujuan
untuk? menggambarkan dan menganalisis kerja aktual yang hebat matematika
sebagai kelompok sosial, sedangkan, yang lain mencoba untuk menciptakan ilmu
pengetahuan kognitif matematika, dengan fokus pada kognisi manusia sebagai asal
dari keandalan matematika ketika diterapkan pada 'dunia nyata', dan karena itu,
ini teori akan mengusulkan untuk menemukan dasar hanya dalam pemikiran manusia,
tidak dalam 'tujuan' di luar konstruk. Singkatnya, masalah ini masih
kontroversial.
Marsigit menuliskan dalam
karya ilmiahnya bahwa Kalderon (2004) menyatakan bahwa aritmetika adalah
analitik apriori; menjadi analitik, kebenaran aritmatika harus
ditransformasikan ke dalam kebenaran logis oleh substitusi sinonim untuk
sinonim, dan untuk bersikap apriori, kebenaran aritmatika harus memiliki himpunan
setidaknya satu bukti dari tempat murni umum. Selain itu, Kalderon menyatakan
bahwa Frege harus melaksanakan proyek matematika untuk menentukan apakah
aritmatika dapat dibuktikan dari logika dan definisi saja. Sementara, Kalderon
(2004) berpendapat bahwa kasus Frege untuk klaim bahwa aritmatika adalah
analitik apriori memiliki tiga komponen yang merupakan argumen positif tunggal,
sanggahan alternatif yang masih ada, yakni argumen terhadap Kant, dan definisi
dan sketsa bukti Frege kasus di mana hanya akan selesai ketika definisi dan
sketsa bukti secara formal. Menurut Frege, kebenaran aritmatika mengatur semua
yang dapat dihitung dan masuk akal.
Sementara itu, Litlangs 2004,
menambahkanbahwa bahwa Leibniz menganggap bahwa logika berjalan bersamaan
dengan matematika, sedangkan Aristoteles menggunakan proposisi dari bentuk
predikat, yaitu subjek dari logika, Leibniz berpendapat bahwa subjek berisi
predikat yang adalah sifat yang tak terbatas yang diberikan oleh Tuhan. Menurut
Leibniz, proposisi matematika tidaklah benar jika mereka berurusan dengan
entitas kekal atau ideal, tetapi karena penolakan mereka secara logika tidak
mungkin, maka proposisi matematika adalah benar tidak hanya untuk dunia ini,
tetapi juga untuk semua kemungkinan yang ada. Litlangs menyatakan bahwa tidak
seperti Plato, yang menanyakan untuk apalah sebuah bentuk fisik itu, sementara Leibniz
melihat pentingnya notasi, sebagai sebuah simbolisme perhitungan, dan menjadi
permulaan dari metode untuk membentuk dan mengatur karakter dan tanda-tanda
untuk mewakili hubungan antara pikiran matematika.
e. Teorema Ketaklengkaan Godel
Folkerts, M., 2004, merasa
terpengaruh oleh program Hilbert, menyatakan bahwa bagaimanapun, Formalisme tidak
tidak akan berlangsung lama. Pada tahun 1931 ahli matematika kelahiran Austria
Amerika dan ahli logika Kurt Gödel menunjukkan bahwa tidak ada sistem jenis
Hilbert di mana bilangan bulat bisa didefinisikan dan yang konsisten dan lengkap.
Kemudian Gödel dan ahli matematika Inggris Alan Turing menunjukkan decidability yang juga tak terjangkau.
Disertasi Gödel terbukti kelengkapan orde pertama logika, bukti ini dikenal
sebagai Teorema Kelengkapan Gödel 's. Gödel juga membuktikan bahwa Hilbert
benar tentang asumsinya bahwa meta-matematika adalah bagian dari bagian nyata
dari matematika; ia menggunakan nomor teori sebagai contoh yang sepenuhnya
beton dan kemudian menunjukkan bagaimana menerjemahkan berbicara tentang simbol
ke berbicara tentang angka. Gödel ditugaskan kode untuk himpunaniap simbol
sedemikian rupa bahwa yang disebut Gödel-angka dikalikan bersama-sama mewakili
formula, menetapkan formula, dan hal lainnya dan kemudian seseorang dapat
berbicara tentang Gödel-nomor menggunakan nomor teori. Folkerts menunjukkan
bahwa untuk membuat Gödel-nomor untuk pernyataan dalam sistem formal, terlebih
dahulu kita harus menetapkan himpunaniap simbol bilangan bulat yang berbeda
mulai dari satu, kemudian menetapkan himpunaniap posisi dalam laporan bilangan
prima berturut-turut yaitu mulai dengan 3. Folkerts mencatat bahwa Gödel-nomor
untuk pernyataan itu adalah produk dari bilangan prima dibawa ke kekuatan nomor
yang ditetapkan ke simbol dalam posisi pernyataan; sejak nomor dua bukan
merupakan faktor dari jumlah Gödel-untuk sebuah pernyataan, semua pernyataan
'Gödel-angka akan aneh. Folkerts menunjukkan bahwa Gödel-nomor untuk urutan
laporan dibangun dengan mengalikan bilangan prima keluar berturut-turut,
dimulai dengan, nomor dua dibawa ke kuasa nomor Gödel-pernyataan yang muncul
pada posisi dalam daftar.
Folkerts, M., 2004, mencatat
bahwa agar kita dapat memaknai teorema kita dapat menuliskan daftar kalimat
yang merupakan bukti tentang hal itu, sehingga Teorema Gödel 's-nomor kalimat
terakhir dalam bilangan genap Gödel dan ini mengurangi bukti theorems ke
properti nomor-teori yang melibatkan Gödel-angka dan konsistensi dapat
ditampilkan melalui nomor teori. Folkerts menunjukkan bahwa Gödel menunjukkan
sesuatu yang bisa kita mewakili dalam sistem formal dari sejumlah teori adalah
finitary. Gödel menunjukkan bahwa menurutnya jika S menjadi sistem formal untuk
nomor teori dan jika S adalah konsisten, maka ada kalimat, G, seperti bahwa
baik G maupun negasi dari G adalah Teorema dari S, dan dengan demikian, himpunaniap
sistem formal memadai untuk menyatakan theorems dari nomor teori harus lengkap.
Gödel menunjukkan bahwa S dapat membuktikan P (n) hanya dalam kasus n adalah
Gödel-nomor yang Teorema dari S; maka di sana ada k, sehingga k adalah
Gödel-jumlah rumus P (k) = G dan pernyataan ini kata dari dirinya sendiri,
tidak dapat dibuktikan. Menurut Gödel, bahkan jika kita mendefinisikan sebuah
sistem formal baru S = S + G, kita dapat menemukan G yang tidak dapat
dibuktikan di S, dengan demikian, S dapat membuktikan bahwa jika S adalah konsisten,
maka G tidak dapat dibuktikan. Gödel menjelaskan bahwa jika S dapat membuktikan
cst (S), maka S dapat membuktikan G, tetapi jika S adalah konsisten, tidak
dapat membuktikan G, sehingga tidak dapat membuktikan konsistensi. Dengan
demikian, Program Hilbert tidak bekerja, satu tidak dapat membuktikan
konsistensi teori matematika. Namun, Folkerts menunjukkan bahwa Gentzen melihat
Teorema ketidaklengkapan Gödel dan bertanya-tanya mengapa sistem formal untuk
aritmatika sangat lemah bahwa itu tidak dapat membuktikan konsistensi sendiri.
Menurut Gentzen, penyempitan alami pada bukti adalah bahwa mereka adalah daftar
terbatas laporan, karena itu, Gentzen menawarkan teori aritmatika yang kemudian
memungkinkan bukti konsistensi dari sistem formal dari aritmatika; di mana ia
memperkuat aksioma induksi matematika , yang memungkinkan sebuah aksioma
induksi kuat. Sementara induksi tradisional mengasumsikan domain memiliki tipe
ketertiban; Namun Gentzen mengasumsikan bahwa domain memiliki jenis, agar lebih
rumit lebih tinggi.
Thompson, P., 1993,
menjelaskan bahwa Gödel berpendirian bahwa intuisi kita dapat digunakan untuk
bekerja dalam domain yang sangat aksiomatis, seperti perpanjangan ZF, atau
kalkulus, sehingga memungkinkan kita untuk membuat pertimbanganyang baik untuk menerima
atau menolak hipotesis secara independen dari pra-teori atau praduga tentang
teori. Thompson menunjukkan bahwa Gödel dan Herbrand, secara bersama-sama
membuat klaim tentang demarkasi batas-batas kemampuan intuisi. Thompson menyimpulkan bahwa Gödel, dengan kemampuannya
dalam logika transendental, senang berpikir bahwa logika kita hanya sedikit tidak
fokus, dan berharap bahwa terdapat kesalahan kecil sehingga masih mampu melihat
secara tajam dan mampu berpikir matematika secara benar. Namun untuk hal ini,
dia berbeda pandangan dengan Zermelo dan Hilbert. Thompson menyatakan bahwa
Hilbert tidak akan dapat meyakinkan kita bahwa matematika itu bersifat konsistensi
untuk selamanya, karena itu kita harus puas jika sistem aksiomatis matematika seperti
yang dibuat Hilbert dianggap konsisten, jika kita tidak mampu membuktikannya.
f.
Program Alan Turing dan Descrates
Di sisi lain, Folkerts
menemukan bahwa Alan Turing mendefinisikan fungsi sebagai program untuk untuk
menghitung dengan mesin sederhana di mana fungsi ini sama dengan apa yang Gödel
pikirkan. Menurut Alan Turing, semua definisi dari fungsi yang berbeda dapat
dihitung dengancara membuat himpunan yang sama dengan fungsi yang ada. Fungsi dapat
dihitung karena yang paling banyak cara untuk program mesin Turing dan jumlah
fungsi yang mungkin dapat ditetapkan, sehingga fungsi dapat ditentukan secara
teoritis sebagai sebuah pengecualian. Alan Turing menunjukkan bahwa fungsi
adalah relasi yang tak terhitung yang menghasilkan output yang tergantung pada
variabel acak.
Sementara itu, Turan, H.,
2004, menjelaskan bahwa Descartes membawa proposisi matematika ke dalam
keraguan saat ia meragukan semua keyakinan tentang hakekat akal sehat dengan
mengasumsikan bahwa semua keyakinan berasal dari persepsi tampaknya hanya
sampai pada anggapan awal bahwa masalah yang dihadapinya sebetulnya adalah
suatu keraguan tentang matematika, yaitu sebuah contoh dari masalah keraguan
tentang keberadaan zat. Turan berpendapat bahwa masalahnya bukan apakah kita
menghitung objek atau gambar yang sebenarnya kosong tapi apakah kita menghitung
apa yang kita menghitung dengan benar, ia berpendapat bahwa karya Descartes
adalah mungkin untuk mengekspos bahwa proposisi '2 +3 = 5 'dan argumen' Saya
berpikir, maka saya ada, "sama-sama jelas. Menurut Turan, Descartes tidak
menemukan epistemologinya pada bukti proposisi matematika, dan percobaan
keraguan tampaknya tidak memberikan hasil positif untuk operasi matematika.
Menurut Turan, kesadaran melaksanakan proposisi matematika yang tidak boleh
untuk meragukannya, dan kesadaran melakukan operasi matematika atau logika
adalah contoh dari "saya berpikir" dan karenanya argumen "Saya
menghitung, karena itu aku ada 'setara dengan' Saya pikir , maka saya ada '.
Turan menunjukkan bahwa jika kita berpendirian bahwa proposisi matematika tidak
bisa menimbulkan kesulitan bagi epistemologi Descartes yang menurutnya untuk
membangun pada kesadaran berpikir sendiri, maka dia tidak dapat dilihat untuk
menghindari pertanyaan. Turan menyimpulkan bahwa proposisi matematika dengan
sendirinya tidak bermanfaat jika mereka tidak boleh diragukan. Jika semua
proposisi matematika kemudian dapat diragukan oleh Rene Descartes, maka seluruh
logika umum tentunya juga akan diragukannya. Maka Rene Descartes kemudian
menemukan bahwa hanya terdapat satu saja hal yang tidak dapat diragukan yaitu
kenyataan bahwa dirinya itulah yang sedang meragukan. Oleh karena itu dia
menyimulkan bahwa dia ada karena berhasil meragukannya. Atau cogito ergosum, saya
berpikir maka saya ada. Tetapi kemudian Rene Descartes menemukan kenyataan
bahwa dia tidak mampu menjawab semua keraguan tersebut, maka dia menemukan
bahwa manusia, termasuk dia, adalah terbatas. Kemudian dia menyimpulkan
pastilah ada yang tak terbatas, yaitu diri Tuhan YME.
DAFTAR PUSTAKA
Beth,
Evert W. 1962. Formal methods.
Dordrecth: D. Reidel Publishing Company
Ernest,
Paul. 1995. The Philosophy of Mathematics, Value and Keralese Mathematics.
Journal TMME, 14 (2).
Esty, Warren. The Language of Mathematics. https://www.academia.edu/573384/The_Language_of_Mathematics.
Guerrier. 2008. Truth
versus validity in mathematical proof. ZDM
Mathematics Education, 40 (1) p.373-384.
Marsigit. 2010. Modul filsafat ilmu. Universitas Negeri
Yogyakarta.
_______. 2012. Sejarah dan filsafat Matematika. Disampaikan
pada Workshop Guru SMK RSBI Yogyakarta.
_______. Sejarah dan Filsafat Matematika. Online. http://staffnew.uny.ac.id/upload/131268114/pendidikan/Marsigit_Sejarah+dan+Filsafat+Matematika.doc.
_______. 2012.
Hilbert's Program 1_Documented by Marsigit. https://powermathematics.blogspot.com/2012/11/hilberts-program-1documented-by-marsigit.html.
_______. 2012. Hilbert's
Program 2_Documented by Marsigit. https://powermathematics.blogspot.com/2012/11/hilberts-program-2documented-by-marsigit.html.
________, Ilham R., & Mareta
M. M. (2014). Filsafat matematika.
Yogyakarta: UNY Press.
Hatcher, W. S. 2000. Foundations of Mathematics:
An Overview at the Close of the Second Millennium. https://bahai-library.com/hatcher_foundations_mathematics.
An Overview at the Close of the Second Millennium. https://bahai-library.com/hatcher_foundations_mathematics.
Ross,
D.S. 2003. Foundation Study Guide. http://www.ideas/philosophy.asp
-----------. http://www.erw.wales/media/1097/141006-foundation-phase-mathematical-development-area-of-learning.pdf.
-----------. http://www.erw.wales/media/1097/141006-foundation-phase-mathematical-development-area-of-learning.pdf
----------. 2016. Pemodelan Matematika. Online. https://himatika.fmipa.ugm.ac.id/2016/11/25/permodelan-matematika/.
----------. International
Mathematics Modelling Challenge. https://www.immchallenge.org.au/supporting-resources/what-is-mathematical-modelling.
Niss, M., Blum, W.,
& Galbraith, P. (2007). Introduction. In W. Blum, P. Galbraith, M. Niss,
& H-W. Henn (Eds.), Modelling and Applications in Mathematics
Education: The 14th ICMI Study, (pp. 3–32). New York: Springer.
Komentar
Posting Komentar